Pages

Selasa, 23 November 2010

Spinocerebellar Degeneration

Well, mungkin banyak yang bertanya-tanya istilah ini, Spinecerebellar Degeneration, atau yang sering disingkat SCD. Apaan sih SCD? Mungkin banyak yang tidak kenal istilah ini. Namun, jika saya sebut Spinocerebellar Ataxia atau SCA, semuanya pasti ber-oooh ria.

Ya, SCD adalah suatu penyakit yang tidak jelas penyebabnya (kemungkinan karena mutasi genetik atau keturunan) dan sampai sekarang belum diketahui bagaimana cara menyembuhkannya. Penyakit ini di Indonesia lebih dikenal dengan nama pendeknya, Ataxia, atau sering juga disebut Penyakit Degenerasi Saraf. Penyakit ini umumnya menyerang manusia pada usia muda sampai remaja. Penyakit ini menyebabkan degenerasi otak kecil (cerebellum) dan saraf tulang punggung manusia, sehingga memengaruhi sistem motorik penderita.

Otak kecil mengendalikan keseimbangan, dan saraf tulang belakang mengendalikan gerak refleks. Intinya, kedua bagian ini mengendalikan seluruh gerak aktif manusia yang dilakukan secara sadar. Lama kelamaan, penderita akan kehilangan keseimbangannya. Mereka akan sulit memperkirakan jarak. Pada tingkat lanjut, penderita tidak akan mengalami kesulitan menelan dan berbicara. Mereka akan menghabiskan waktu mereka di tempat tidur karena tubuh mereka tidak bisa lagi digerakkan sebagaimana mestinya.

Penyakit ini menjadi populer setelah dikenalkan oleh almarhumah Aya Kito (19 Juli 1962 - 23 Mei 1988) seorang penderita SCD dari Jepang. Dia adalah salah satu penderita SCD yang penyakitnya berkembang lebih pesat daripada penderita pada umumnya. Dia divonis menderita penyakit ini pada usia 15 tahun, dan dia sudah mengalami kesulitan berjalan pada usia 16 tahun. Dia sudah tidak bisa berjalan ketika dia berusia sekitar 19 tahun dan mulai sulit bicara pada usia 20-an awal. Dia meninggal pada usia 25 tahun ketika otak kecil dan saraf tulang belakangnya sudah berdegenerasi total, tidak memungkinkannya untuk bertahan hidup.

Namun, sebelum Aya meninggal, selama masa hidupnya, dia menulis buku harian yang akhirnya dibukukan dengan judul 1 Litre of Tears. Buku ini menginspirasi banyak orang di seluruh dunia, terutama tentang bagaimana dia berjuang melawan penyakitnya yang terus berkembang dengan pesat di setiap tarikan napasnya. Karena penyakit ini tidak memungkinkan Aya untuk bergerak normal, penyakit ini seperti penjara. Buku hariannya dimaksudkan sebagai alat pemantau bagi dokternya untuk mengawasi perkembangan penyakit Aya. Namun, akhirnya Aya justru curhat ke buku hariannya karena tekanan mental yang begitu berat.

1 Litre of Tears difilmkan dalam bentuk drama dengan judul yang sama dan diperankan oleh Erika Sawajiri. Nama keluarga Aya diganti menjadi Aya Ikeuchi. Drama tersebut sedikit diubah dari cerita aslinya untuk menambah unsur dramatis, di mana Aya harus bertahan terhadap serangan mental dari tatapan sebal teman-temannya setiap kali dia terlambat masuk kelas karena mobilitasnya yang terganggu. Aya juga harus dijauhi oleh kakak kelas yang disukainya hanya karena penyakit itu membuat Aya sulit berjalan lurus. Aya harus berhenti dari klub basket kesukaannya karena dia tidak bisa berlari. Di Indonesia, 1 Litre of Tears diadaptasi menjadi Buku Harian Nayla dengan cerita yang persis sama.

Dalam kebanyakan kasus, penderita SCD masih bisa hidup sampai usia 30-an. Namun, dalam kasus Aya, penyakit ini "membunuhnya" pada usia 25 tahun.

Saya sudah menonton film ini berkali-kali dan menghabiskan paling sedikit 2 bungkus tisu untuk membuang ingus setiap kali saya menontonnya. Film ini, bagi saya, adalah film motivasi yang paling luar biasa yang pernah saya tonton. Dari kisah-kisah orang-orang yang cacat, kisah Aya adalah kisah yang paling mengena di hati saya.

Sama seperti Aya, saya ingin menjadi seseorang yang dapat membantu orang lain. Karena itu, saya selalu fokus pada MLM yang saya jalankan ini. Bukan fanatik, hanya fokus. Saya tidak menderita SCD seperti Aya, tetapi saya memiliki visi yang sama. Di luar sana, banyak orang yang membutuhkan bantuan kita. Jika kita bisa membantu mereka, kenapa tidak? Saya tidak menderita SCD, karena itu saya pasti lebih bisa membantu orang lain daripada Aya.

Banyak orang yang mencela saya karena saya menjalankan MLM. Namun, setiap kali saya down, saya hanya mengingat kembali apa yang telah Aya Kito lakukan dan apa yang telah dihasilkannya sampai sekarang. Kita tidak boleh menyerah pada keadaan. Apapun kondisi kita, kita harus tetap maju. Mungkin kita sering menginginkan adanya mesin waktu untuk memutar kembali waktu ketika kita mengalami pengalaman yang pahit. Namun, sayangnya, itu tidak akan pernah terjadi. Yang bisa kita lakukan hanyalah bersiap atas apa yang akan menghampiri kita nantinya. So, keep fighting guys, don't lose to Aya :)

Kamis, 04 November 2010

Manusia Tidak Bisa Bekerja Selamanya

Kemarin saya diundang untuk makan malam bersama keluarga mantan ibu kost saya. Sekarang saya tidak tinggal di kost-nya lagi, tetapi beliau tetap mengundang saya untuk merayakan pesta ulang tahun salah satu anak kost-nya. Berhubung waktunya bentrok dengan jam kerja saya, maka saya menolak dengan halus.

Sekarang saya bekerja sebagai seorang terapis akupunktur. Akupunktur-nya tidak menggunakan jarum, jadi saya tidak perlu takut salah tusuk. Dengan alat akupunktur terbaru yang diciptakan oleh perusahaan MLM saya, saya berkeliaran ke mana-mana untuk menotok orang yang sakit dan menyembuhkan orang banyak.

Mantan ibu kost saya ingin ditotok juga setelah mendengar penjelasan saya tentang kerjaan saya yang bentrok dengan acara makan malam bersama itu. Beliau memaksa saya untuk ikut makan malam saja, sekalian menotok beliau. Masalahnya saya sudah ada janji dengan rekan kerja saya pada jam yang sama sehingga saya tidak bisa ikut makan malam bersama itu. Mau tidak mau, saya membuat janji temu lain dengan mantan ibu kost saya itu.

Kejadian ini bukan pertama kalinya. Beliau sering mengadakan acara makan-makan pada Jumat malam, dan Jumat malam saya sudah ada jadwal tetap, sehingga tidak bisa diganggu gugat. Pertama kalinya beliau mendengar tentang kenyataan bahwa saya sudah bekerja sambil kuliah, beliau malah "mengkritik" saya lewat teman saya, "Ah, kayak orang sibuk aja. Kan masih kuliah, ya santai saja lah."

Saya tidak tahu apakah beliau masih ingat atau tidak, dan saya juga tidak ingat apakah saya pernah memberitahu beliau atau tidak, bahwa orangtua saya sekarang single parent. Mama saya harus bekerja membanting tulang untuk menyekolahkan ketiga anaknya. Biaya pendidikan yang paling tinggi ya, tentu saja, biaya pendidikan saya sebagai anak kuliah. Tidak hanya itu, saya sekarang jauh dari rumah, dan tentunya saya dituntut untuk me-manage keuangan dengan lebih baik lagi. Biaya hidup semakin naik dari tahun ke tahun. Semester satu, saya masih bisa bertahan hidup dengan Rp500.000-Rp750.000 per bulan untuk konsumsi di luar uang kost. Menginjak semester tiga sampai semester empat, uang jajan saya meningkat menjadi Rp750.000-Rp1.000.000 per bulannya. Sekarang, saya harus berusaha menekan pengeluaran karena pengeluaran sehari-hari saya saja sudah mencapai Rp1.000.000-Rp1.500.000 per bulan di luar uang kost.

Mungkin memang benar, saya bisa bersantai-santai dulu, baru mati-matian bekerja pada saat lulus kuliah nanti. Namun, saya orangnya pemikir, dan saya merasa sangat tidak tenang jika semua biaya kehidupan saya saya bebankan ke Mama saya. Mama sudah semakin berumur, dan tidak bisa bekerja selamanya. Sekarang umur Mama saya sudah kepala empat, artinya sebentar lagi sudah mendekati usia pensiun.

Mantan ibu kost saya adalah tipikal orangtua yang sangat memanjakan anaknya. Ditambah lagi kepribadian anak-anaknya yang sangat introvert dan tidak pernah mengutarakan ketidaksukaan mereka terhadap suatu hal sampai betul-betul mendesak, maka lengkap sudah. Mantan ibu kost saya selalu memberikan apapun yang diinginkan anak-anaknya dan anak-anak kostnya walaupun mereka tidak memintanya. Kesannya seperti seorang freak. Untuk seseorang yang tidak suka dimanja (seperti saya), hal-hal seperti ini sangat membuat risih.

Beberapa tahun lalu, ketika saya masih kost di sana, saya membuat takjub beliau dengan menyapu kamar dan memasang seprai baru sendiri. Saya baru menyadari bahwa hal yang amat sangat wajar bagi saya seperti menyapu kamar sendiri terasa sangat menakjubkan bagi beliau. Itu berarti anak-anaknya selama ini tidak pernah melakukan pekerjaan rumah tangga sehari-hari sendiri. Semuanya dilakukan pembantu. Saya tidak tahu apa yang beliau pikirkan, yang jelas saya merasa agak risih ketika beliau bertanya, "Kamarnya biar saya sapukan ya?" yang saya jawab dengan menggelengkan kepala dan berkata halus, "Gapapa tante, biar saya sendiri aja."

Bukannya saya selalu berpikir untuk melakukan segala sesuatunya sendirian. Ada kalanya kita perlu bantuan orang lain, ada kalanya kita harus melakukannya sendirian. Kalau bisa sendirian, kenapa tidak? Kalau memang harus dibantu orang lain, bukan berarti harus dibantu full. Saya tidak suka jika ada orang lain yang berusaha mengambil alih jobdesk saya dalam suatu pekerjaan. Jika memang dia ingin membantu, lakukanlah hal lain yang bisa mempermudah saya dalam mengerjakan sesuatu, bukan meringankan beban saya dengan ikut melakukan hal yang sama. Saya hanya memperbolehkan orang lain untuk mengerjakan hal yang sama dengan saya jika saya menghendakinya, dan tentunya jika orang itu mengiyakan.

Saya hanya berpikir seperti ini. Jika suatu hari nanti mantan ibu kost saya dan suaminya itu tidak bisa bekerja lagi, apakah mereka akan terus membayar pembantu untuk mengurusi kedua anak mereka yang sudah bisa dibilang dewasa? Apakah pembantunya harus mengikuti mereka ke manapun mereka pergi untuk memastikan keselamatan, kerapian, dan kebersihan mereka setiap saat?

Saya bekerja sambil kuliah, bukan berarti nilai kuliah saya turun. Tidak. IP saya bagus-bagus saja, dan saya selalu bisa mengambil full SKS setiap semester. Kenapa saya tidak menggunakan waktu luang saya untuk bekerja dan meringankan beban Mama saya? Walaupun hanya meringankan sedikit, setidaknya saya bisa mendapat tambahan uang jajan di luar passive income dari Mama, dan itu juga yang sangat Mama saya inginkan.

Sebenarnya simpel saja, apa yang saya lakukan ini demi masa depan saya. Jika suatu hari nanti Mama saya tidak bisa bekerja lagi, apakah saya harus menghabiskan rekening tabungan Mama untuk hidup saya? Tentu tidak. Saya tidak mengkritik orangtua yang selalu memanjakan anaknya, tetapi menurut saya, kalau bisa yang dikurangilah. Tidak perlu sampai memberikan anak sendiri sopir untuk diantar ke mana-mana, apalagi jika anaknya sudah dewasa. Lebih baik anak diberikan kesempatan untuk mencoba kendaraan umum sendiri sejak dini, dan dibiasakan melakukan segala sesuatunya sendiri, jangan terus-menerus ditemani. Dunia memang berbahaya, tetapi lebih bahaya lagi jika kelak Bumi dipenuhi oleh orang-orang manja yang tidak bisa hidup tanpa tunjangan dari orangtua mereka. Manusia toh tidak bisa bekerja selamanya kan?