Pages

Minggu, 25 Desember 2011

The End of 2011

Hai readers, kita ketemu lagi. Sebelum mulai, gue mau ngucapin Happy Mother's Day dan Merry Christmas dulu buat readers semua, hehehe. Tidak terasa kita sudah berada di penghujung tahun 2011, ya? Berarti sebentar lagi kita akan memasuki waktu penentuan, penentuan apakah peristiwa yang terjadi dalam film 2012 nyata atau tidak. Yah, banyak-banyak doa, refleksi, dan introspeksi diri aja, deh, ya. Gue yakin gak bakal kiamat, sih, walaupun gue yakin mungkin akan ada bencana besar, tapi gak bakal sampe kiamat lah ya.

22 Desember lalu, gue diajak chat sama adik gue. Bertepatan dengan Hari Ibu, gue kirim SMS ke nyokap gue, yang isinya "Ma, selamat Hari Ibu. You're the best Mom in the world. Semoga Mama selalu diberkati Tuhan". Pendek, ya? Yep, pendek. Gue paling males mau bikin SMS atau pesan BBM yang panjang banget yang penuh dengan emoticon dan simbol-simbol aneh. SMS kayak gitu, menurut gue, kreatif, tapi capek bikinnya. Kalau gue pernah ngirim SMS atau BBM yang penuh emoticon gitu, biasanya hanya karena copy-paste dari teman.

Oke, cukup basa-basinya. Gue chatting sama adik gue via YM. Dia negur gue karena gue jarang ngobrol atau cerita apapun soal kegiatan gue di sini ke nyokap gue atau ke dia, yang bikin dia ngebet banget pengen nabung buat beli BlackBerry Torch. Yah, terserah dia sih mau beli hape apapun juga, bukan urusan gue. Tapi teguran dia bikin gue berasa terbang ke masa-masa ketika gue masih SD.

Nyokap gue single parent sejak gue kelas 2 SD. Gue, nyokap, dan dua adik gue yang masih kecil banget harus tinggal di rumah kakek dari pihak bokap yang konon udah penuh sesak. Kakak dan adik almarhum bokap gue banyak yang nikah tanpa bisa beli rumah atau ngontrak rumah sendiri, karena itulah mereka masih tinggal sama istri/suami dan anak-anak mereka di sana. Hanya sedikit yang udah cukup mapan dan memilih untuk tinggal di rumah sendiri, seperti almarhum bokap gue. Tapi, dengan nggak adanya bokap, rumah gue pun dikontrakkan, dan nyokap berjuang sendiri membesarkan ketiga anaknya ini sampai gue bisa kuliah kayak sekarang.

Gue sangat jarang ngobrol santai dengan nyokap sejak gue kecil. Nyokap sibuk kerja, baik mencari nafkah maupun kerjaan rumah tangga lainnya. Obrolan yang gue lakuin sama nyokap gue biasanya hanya seputar "Ma, ada kerja kelompok di rumah si A", "Ma, besok ada praktikum, aku ditugasin buat bawa ini, ini, sama ini", "Ma, nanti sore aku mau jalan-jalan sama si B ke mal", dan lain sebagainya. Nggak pernah sekalipun gue cerita tentang kesukaan gue, hobi gue, atau kehidupan pribadi gue yang notabene hampir tidak pernah diketahui oleh nyokap.

Yang diketahui oleh nyokap hanyalah gue adalah orang yang seringkali ambisius, serius, pendiam, kuper, doyan game, agama Katolik, dan hal-hal lain yang mirip dengan pengetahuan orang-orang lain di luar tentang diri gue. Setelah gue pikir-pikir, memang sampai sekarang pun gue sangat jarang membuka diri dan bercerita panjang lebar soal kegiatan gue di sini sama nyokap. Alasannya simpel, gue nggak biasa buat cerita, dan nyokap sampai sekarang pun masih sibuk dengan berbagai kerjaan.

Setelah nyokap punya pacar lagi, kesibukan nyokap berkurang sedikit. Setidaknya, nyokap jadi lebih bisa fokus ke kerjaan rumah tangga, walaupun dia masih sibuk buat nyari duit tambahan dari kerjaan halal apa pun yang bisa dia lakuin. Namun, walaupun nyokap udah sedikit lebih santai, gue nggak pernah kepikiran buat cerita apapun soal kegiatan gue yang sekarang lebih banyak ngabisin waktu di Serpong dan Jakarta ini.

Nyokap nggak tahu kalau gue suka banget sama yang namanya aksesoris. Saking sukanya, gue pernah sembunyi-sembunyi beli kalung perak di mal sampai akhirnya kepergok sama adik gue dan dia lapor ke nyokap. Baru akhir-akhir ini nyokap mulai tahu kalau gue mulai memperhatikan penampilan dengan rutin fitness dan mulai terang-terangan browsing aksesoris di mana-mana. Nyokap nggak tahu kalau gue masih memegang erat impian gue buat jadi pemusik, karena dia nggak pernah tahu gue suka nyanyi-nyanyi di jalan kalau gue pake motor ke mana-mana dengan full helmet, atau masih berusaha ngedengerin musik dari lagu-lagu yang gue putar di hape Sony Ericsson gue yang udah butut pake handsfree dengan saksama.

Nyokap gak tahu kalau gue udah berapa kali crush sama cewek selama gue kuliah, tapi nggak pernah benar-benar pacaran seperti waktu gue SMA. Baru liburan kemarin dia nanya-nanya ke gue apa gue pernah ketemu cewek cantik atau menarik di kampus (dan gue akan merespon dengan "cewek cantik sih sering ketemu, cuma gak ada yang pas"). Nyokap gak tahu kalau gue kepingin banget punya kamera saku (atau kalau memungkinkan, DSLR). Walaupun gue bukan seorang yang fotogenik maupun demen sama fotografi, tapi gue pengen punya kamera yang resolusinya lebih tinggi daripada kamera BlackBerry gue yang cuma 2 MP.

Terakhir, nyokap nggak pernah tahu gue terus mengatur pengeluaran setiap harinya dan berusaha menabung untuk membeli barang-barang mahal yang gue mau. Dia nggak tahu kegiatan-kegiatan gue selain kuliah (dan skripsian untuk tahun ini). Dia nggak tahu gue masih demen banget nulis dan rajin nge-blog sampai sekarang.

Mungkin kalau teman-teman gue baca post ini, mereka bakal mikir, "Gila lo, Wen, nyokap lo gak pernah lo kasi tahu apa-apa soal suka-dukanya kehidupan lo. Dia kan satu-satunya ortu lo sekarang. Kenapa sih nggak jujur aja?" Alasannya sebenarnya cukup simpel, tapi nggak banyak yang bisa ngerti alasannya ini. Gue nggak mau ngerepotin nyokap. Nyokap gue udah cukup sibuk dengan mengurus kedua adik gue yang masih sekolah dan ngurusin keuangan keluarga gue. Udah cukup adik-adik gue yang cerita masalah kehidupan mereka ke nyokap gue, nggak perlu ditambah gue cerita soal PDKT, fashion, kuliah, dan lain sebagainya.

Gue sampai sekarang merasa fine-fine aja sama rutinitas gue. Kalaupun ada masalah, I can handle them by myself. Kalau nggak bisa gue selesaikan sendiri, ya gue cari bantuan dari sahabat-sahabat gue, sederhana kan? Gue nggak pernah kepikiran buat sampai telepon atau SMS nyokap "Ma, aku lagi stres, skripsi ribet banget". Bukan gue banget. Teman-teman gue bisa bilang gue orangnya introvert, gak gaul, terserah lah. Menurut gue, urusan gue adalah urusan gue, gue nggak perlu melibatkan nyokap ke dalam kegalauan gue setiap malam, atau cerita soal debat gue di forum-forum yang gue ikutin, gak penting (buat nyokap gue).

Kalau gue ada masalah, sahabat-sahabat gue selalu ada buat gue, dan gue merasa lebih nyaman cerita sama mereka. Seandainya bokap gue masih ada, mungkin gue akan cerita ke nyokap masalah-masalah gue, tapi kan kenyataannya sekarang nggak seperti itu. Gue berusaha untuk selalu jujur kok sama nyokap, meskipun untuk beberapa hal gue harus bohong. Di sini, maksud gue adalah bohong yang baik. Gue selalu berusaha supaya nyokap gak pernah khawatir dengan keadaan gue di mana pun gue berada. Mungkin, suatu hari nanti, kalau gue di-opname di rumah sakit, gue pun nggak akan memberi tahu nyokap keadaan gue selama gue masih bisa mengatasinya sendiri.

Walaupun gue tahu, mungkin nyokap selalu khawatir dan penasaran dengan keadaan gue yang jauh dari dia, tapi gue tahu, gimana pun caranya, nyokap pasti tahu gue baik-baik aja. Entah dengan mengontak sahabat-sahabat gue, atau melalui nalurinya, atau cara-cara lainnya. Selama dia tahu gue baik-baik aja, nggak ada alasan bagi gue buat bikin dia khawatir, dan itulah satu-satunya cara gue buat ngebalas semua yang udah dia lakuin buat gue dan kedua adik gue sampai sekarang. Koreksi, mungkin itu satu-satunya cara yang bisa gue lakuin sekarang. Sederhana dan mudah buat gue yang notabene sejak kecil memang secara psikologis jauh dari nyokap.

Meskipun demikian, gue tahu kok gimana nyokap selalu khawatir tentang diri gue. Dia nanya soal susu protein yang sering gue konsumsi akhir-akhir ini karena fitness, gimana efeknya, berapa harganya, dan sebagainya. Dia nanya gimana keadaan gue di Samarinda bulan lalu ketika gue dikirim ke sana sebagai volunteer Science Film Festival Indonesia 2011. Dia nanya sulit tidaknya mata kuliah gue setiap semester (yang jawabannya bisa sangat relatif). Sebaliknya, akhir-akhir ini, gue sering nanya ke dia soal ngilu di kaki kirinya yang pernah dioperasi, lancar tidaknya kerjaan dia di sana, hubungannya sama pacarnya, keadaan adik-adik gue, dan lain sebagainya. Walaupun jauh secara psikologis, setidaknya kami masih bisa menjalani hubungan layaknya ibu-anak yang normal, dan itulah yang gue butuhkan, tidak kurang, tidak lebih.

Harapan gue untuk tahun depan sebenarnya nggak muluk-muluk amat. Gue akan mencoba mendaftarkan diri di pre-audisi L-Men of the Year 2012. Semoga bisa lulus audisi dan jika memang takdir mengizinkan, gue kepingin gue menang. Gue berharap skripsi gue bisa selesai setidaknya dalam satu semester ke depan, dan magang gue berjalan lancar, sehingga gue bisa lulus dalam waktu normal (4 tahun) dan dapat kerjaan bagus, seperti yang diinginkan oleh nyokap. Easy to say, difficult to reach, but not impossible. Doain ya readers, semoga semuanya berjalan sesuai rencana. Mungkin segini dulu aja. Sekali lagi, Merry Christmas, guys, see you at 2012 :)

Senin, 05 Desember 2011

Nasib Fresh Graduate

Sebenarnya bukan kebiasaan gue untuk post dua kali dalam dua hari berturut-turut di bulan yang sama, tetapi sepertinya pikiran gue penuh dengan hal-hal yang menurut gue layak untuk di-post dan menjadi refleksi bagi siapapun yang membaca post ini.

Sabtu kemarin, saat kuliah Ekonomi Media, dosen gue sempat menceritakan suatu humor yang menurut gue sangat pantas untuk direfleksikan dan diterapkan di kehidupan nyata. Berikut humornya.

Seorang fresh graduate S1 dari sebuah universitas ternama sedang menjalani wawancara kerja. Setelah wawancara, tibalah si fresh graduate ini dalam sesi yang paling menegangkan dan menguji mental, yaitu masalah gaji.
Manager: Berapa gaji yang Anda inginkan jika Anda diterima untuk bekerja di perusahaan kami?
Fresh Graduate: Sebagai fresh graduate, saya ingin gaji lima juta rupiah per bulan.
Manager: Lima juta?
Fresh Graduate: Benar sekali. Anda bisa mengecek ulang portofolio dan CV saya, dan Anda tahu bahwa dengan semua kemampuan yang saya miliki, saya layak untuk mendapatkan gaji di atas rata-rata.
Manager: Lalu, bagaimana jika Anda lalai dan melakukan kesalahan dalam pekerjaan Anda?
Fresh Graduate: Jika saya melakukan kesalahan atau kinerja saya buruk, saya rela dipecat tiga bulan kemudian.

Seperti yang kita tahu, umumnya masa percobaan dalam suatu periode awal kerja adalah tiga bulan. Selama tiga bulan ini, seorang karyawan baru akan dimonitor kinerjanya sebagai pertimbangan apakah dia memang layak untuk dipertahankan dalam perusahaan. Humor ini cukup menghibur, tapi menurut gue, lebih banyak sisi amanatnya daripada sekadar menghibur.

Di Indonesia, masyarakatnya sudah memiliki stereotip tersendiri untuk para fresh graduate. Seorang fresh graduate dari universitas mana pun, umumnya akan pasrah ketika dikonfrontasi soal gaji. Mereka akan menerima saja walaupun mereka hanya diberi gaji satu juta sampai dua juta rupiah per bulan. Padahal, dalam kenyataannya, seorang fresh graduate sesungguhnya lebih layak untuk mendapatkan gaji yang lebih dari itu.

Ingat nggak, waktu kuliah, kita mati-matian mencari pengalaman dengan kegiatan organisasi sana-sini, berpartisipasi dalam berbagai event sambil membagi waktu untuk tugas-tugas kuliah beserta deadline-nya? Semua keahlian dan kemampuan yang kita dapatkan, serta pengalaman kita dalam berorganisasi, semuanya akan kita tulis di CV kita ketika kita melamar kerja. Di sinilah yang, menurut gue, poin krusial yang menunjukkan bahwa sebagai fresh graduate, kita layak untuk mendapatkan lebih daripada sekadar satu sampai dua juta rupiah per bulan.

Jika sudah bicara soal keahlian, tentunya keahlian seseorang tidak hanya terpaku pada jurusan kuliahnya terdahulu, kan? Pastilah ada kemampuan di luar keterampilan yang kita dapatkan dari sesi-sesi tatap muka selama kuliah. Kemampuan lebih inilah yang sepatutnya perlu dihargai lebih. Contohnya, lulusan Manajemen yang memiliki skill di bidang fotografi, lulusan TI dengan skill komunikasi yang baik, lulusan Akuntansi dengan skill medis, dan lain sebagainya.

Namun, sayangnya, nggak banyak perusahaan, terutama di Indonesia, yang menghargai kemampuan lebih ini. Padahal, kemampuan lebih inilah, yang mungkin membedakan kita secara garis besar dari fresh graduate lain yang bersaing untuk mendapatkan posisi yang sama. Dengan perbedaan yang cukup mencolok, bukankah sudah sepantasnya jika seorang fresh graduate dihargai lebih dari sekadar satu sampai dua juta rupiah per bulan?

Yang lebih miris lagi adalah, tidak banyak fresh graduate yang menyadari hal ini. Mereka pasrah begitu saja ketika harus menerima gaji sesuai dengan stereotip fresh graduate. Padahal, jika mereka yakin dengan kemampuan mereka, dan perusahaan melihat potensi itu, mereka akan dihargai lebih, sekaligus mematahkan stereotip omong kosong itu.

Mungkin gaji satu sampai dua juta per bulan masih cukup reasonable pada awalnya. Namun, harga barang kebutuhan pokok akan terus meningkat setiap tahun, belum lagi kemungkinan fresh graduate akan menikah tidak lama setelah dia lulus kuliah. Kalau nggak berani speak up, emangnya satu dua juta cukup buat anak istri? Mau terus hidup dalam kondisi overworked and underpaid? Inilah yang menurut gue membuat Indonesia tidak pernah maju, karena sumber daya manusianya sudah dirusak secara mental melalui stereotip-stereotip itu.

Sekadar perbandingan. Kalau kita berniat menciptakan BEP (Break Even Point a.k.a. balik modal) biaya sekolah dan kuliah kita, coba hitung kembali. Berapa milyar rupiah yang sudah kita habiskan untuk menempuh sekolah wajib (wajib, tapi kita masih bayar. Aneh? Kalau nggak ngeh, nanti gue bahas di bawah) ditambah dengan biaya kuliah. Kalau gaji satu dua juta per bulan, berapa lama kita bisa mengembalikan modal pendidikan kita? Bisa bertahun-tahun, itu pun belum menghitung inflasi yang terus terjadi. Dan secara nggak langsung, keadaan inilah yang membuat stereotip "fresh graduate gaji layak = 1-2 juta per bulan" ini semakin semarak dan mendarah daging.

Coba lihat kondisi negara lain. Nggak usah jauh-jauh, deh, negara tetangga kita aja, Malaysia. Tidak sedikit penduduk Malaysia yang menempuh pendidikan di Indonesia. Mereka juga memiliki program wajib sekolah. Bedanya, karena ini WAJIB oleh pemerintah, maka biaya sekolah mereka juga dibayarkan oleh pemerintah. Perbedaannya, tujuan penduduk Malaysia ini di Indonesia, kalau sudah dibilang WAJIB SEKOLAH, maka mereka nggak boleh melakukan hal lain selain menempuh pendidikan sampai selesai (ini dia yang menurut gue aneh, wajib belajar, tapi kita masih tetap bayar biaya pendidikan. Lucu ya?). Begitu sudah selesai, mereka pulang ke negaranya dan bekerja. Lowongan pekerjaan mereka juga sudah disediakan oleh pemerintah, dan pemerintah mengatur gaji mereka per bulannya. Gaji ini akan dipotong beberapa persennya untuk mengembalikan biaya pendidikan yang sudah dibayarkan pemerintah. Sisanya dipastikan cukup untuk fresh graduate itu untuk hidup selayaknya manusia pada umumnya (mungkin malah bisa lebih).

Itulah yang membedakan kualitas sumber daya manusia di Indonesia dan di negara lain. Memang, gue nggak yakin pemerintah akan bisa membiayai sekolah seluruh penduduk Indonesia sampai minimal mereka S1. Namun, dengan kualitas SDM yang menurut gue memprihatinkan ini, pendapatan per kapita negara kita juga kena imbasnya lho. Kalau negara mau maju, ya majukan dulu SDM-nya.

Sori kalau ada yang tersinggung atau nggak setuju dengan pendapat gue ini, tapi menurut gue, inilah yang harus diperhatikan oleh para fresh graduate nanti. Jangan mau diperlakukan seperti anak kecil. Kalau cuma bisa "iya iya" aja sama maunya perusahaan, buat apa kuliah tinggi-tinggi? Lulusan SD juga bisa kalau "iya iya" doang. Sadarlah, kemampuan kita sebagai seorang fresh graduate + keahlian ekstra yang mungkin kita miliki layak buat dihargai lebih. Ayo, guys, patahkan stereotip fresh graduate itu! Jangan mau jadi boneka! Give higher value to yourself! :)

Minggu, 04 Desember 2011

Perasaan

Hai, readers, long time no see. Maaf, ya, akhir-akhir ini gue jarang buka blog. Bukannya gak mau buka, tapi gue bingung gue mau nulis apa. Jadinya baru buka sekarang, deh. Benter, ya, gue bersih-bersih dulu, bersih-bersih blog gue yang udah berdebu ini *siapin kemoceng dan kain pel*

Oke. Setelah vakum hampir dua bulan, gue punya beberapa hal yang pingin gue share di sini. Pertama-tama, mengenai hidup gue. Sepertinya keputusan gue sangat tepat untuk meninggalkan MLM yang pernah gue jalanin itu, karena sekarang gue bisa saving uang jajan lumayan banyak karena gue nggak lagi rutin ikut pertemuan. Hasilnya bisa dibilang cukup memuaskan. Kalau gue mau, gue bisa beli satu PSP baru sekarang juga. Sayangnya, tentunya itu akan bikin tabungan gue ludes dalam sekejap. At least, sih, gue senang banget bisa nabung lagi, jadi setidaknya kalau ada apa-apa gue bisa pakai uang tabungan gue sendiri, nggak perlu buka hape dan ngetik SMS yang sangat tidak mengenakkan hati, "Ma, uangku habis, kirimin lagi dong, maaf ngerepotin". Nggak banget kayaknya.

Kemarin tanggal 16-30 November gue ikut jadi volunteer di Science Film Festival 2011 Indonesia. Gue sempat ke Samarinda dari tanggal 16-20. Kalau mau tahu lengkapnya gimana, ceritanya panjang deh. Nanti gue repost aja dari note yang udah gue tulis di grup volunteer SFF kemarin. Sabar, ya, readers. Setidaknya, kali ini gue merasa gue sudah berhasil melakukan sesuatu yang berguna banget dalam hidup gue, setidaknya dalam empat tahun terakhir ini. Gue berhasil menemukan sesuatu yang bikin gue excited dan sekaligus bikin orang di sekitar gue senang dengan apa yang gue kerjain.

Selanjutnya, ini topik yang paling penting yang mau gue share ke readers. Tanggal 26 November kemarin, UMN mengadakan wisuda perdana. Walaupun gue nggak bisa hadir di acaranya (yang boleh hadir hanya wisudawan dan para undangannya, gue nggak diundang), tapi gue bisa merasakan euforia, kebanggaan, kesedihan, dan emosi-emosi lain yang muncul dari foto-foto dokumenter acara wisuda itu di Facebook. Sampai sini, gue merasa ada sesuatu yang aneh dalam hidup gue empat tahun terakhir ini.

Perasaan ini bikin pikiran gue melayang kembali mengarungi waktu ke tahun 2008, tiga tahun yang lalu, ketika gue dan teman-teman gue saling berpelukan dan mengucapkan salam perpisahan. Berfoto bersama dengan mata sembab habis nangis bawang, peluk-pelukan untuk pertama kalinya dengan guru-guru favorit di masa-masa SMA, mengenang kembali kerusuhan-kerusuhan yang sempat kami lakukan sampai disetrap bersama, belajar bersama menjelang ujian, dan lain sebagainya. Memori-memori yang akan selalu terukir dalam ingatan gue sampai gue tua nanti. Betapa indahnya saat-saat itu.

Ya, itu hanya sekadar kilasan gimana perpisahan gue dan teman-teman sekelas gue (yang semuanya IPA, karena IPA hanya satu kelas waktu gue SMA dulu). Namun, memori-memori itu bikin gue mikir agak lama. Tahun depan, jika semuanya berjalan lancar, gue akan diwisuda juga. Setelah melihat-lihat foto-foto wisuda perdana di Facebook dan komentar-komentar tentang foto itu, gue merasa ada yang lain.

Angkatan 2007, angkatan UMN yang berada di atas gue sekaligus angkatan pertama. Mereka tidak mengenal batas program studi. Semuanya saling bertukar pikiran dengan sangat akrab layaknya saudara. Jumlah mereka hanya sekitar 100 orang, jumlah yang kecil untuk satu angkatan UMN yang sekarang sudah mencapai 10 kali lipatnya. Namun, walaupun minoritas, mereka tetap kompak, tidak memandang apakah satu dari mereka berasal dari jurusan yang berbeda, atau prodi yang berbeda, semuanya saling mendukung dan saling memercayai.

Walaupun gue angkatan kedua, gue tidak menemukan setitikpun kenangan yang mirip seperti itu selama gue kuliah. Gue adalah lone wolf di angkatan gue, tipe orang yang sering melakukan segala sesuatunya sendirian, tipe yang sering dicap kuper di kalangan anak muda saat ini. Teman-teman gue yang lain sering membentuk geng sendiri dengan teman-teman dekat mereka, dan membuat kotak-kotak sendiri yang membatasi pergaulan mereka dengan orang lain di sekitar mereka. Ini bukanlah situasi yang gue sukai. Karena itulah, gue memilih untuk lebih banyak menyendiri selama kuliah.

Gue punya teman, banyak. Semua yang gue kenal adalah teman gue. Pertanyaannya, apakah mereka sahabat gue? Jawabannya tidak. Awalnya, karena masih terbawa dengan suasana SMA, gue membiarkan kotak pergaulan gue terbuka lebar dan membiarkan segala jenis pergaulan masuk di kehidupan gue, membiarkan gue mengenal lebih jauh tentang teman-teman baru gue. Namun, sepertinya taktik ini tidak berhasil. Teman-teman baru gue, masing-masing juga membawa kotak kehidupan mereka yang lama, dan hanya mengizinkan segelintir orang untuk masuk ke kotak mereka, lalu membentuk kotak kehidupan baru bersama teman-teman yang mereka anggap layak untuk menjadi bagian dari hidup mereka. Ini mengakibatkan angkatan gue begitu tersekat, tidak pernah benar-benar berbaur satu sama lain. Kalau gue ditanya, kenapa gue nggak mau masuk ke salah satu kotak yang tersedia di depan gue, jawabannya sederhana, gue nggak bisa menerima mereka dalam kotak gue. Memasukkan diri gue ke dalam salah satu kotak, artinya secara tidak langsung gue harus berbagi kotak gue juga untuk dia, dan sayangnya menurut gue, yang benar-benar bisa masuk di kotak kehidupan gue tidak sampai 5% dari angkatan gue.

Gue punya sahabat, tetapi bukan sahabat yang selalu ada bersama gue ke mana pun gue pergi. Bukan sahabat yang seperti itu. Seperti yang gue bilang, hanya sedikit orang yang bisa masuk ke kotak gue, dan bersama orang-orang itulah, gue bisa bergaul dengan lebih terbuka, karena gue dan sedikit orang itu saling tahu bagaimana hidup dan kepribadian masing-masing.

Gue jadi mikir. Dengan keadaan tersekat seperti yang ada sekarang, gue sangat ragu gue bisa merasakan kembali perasaan-perasaan yang ada saat gue lulus SMA tiga tahun yang lalu. Sungguh, sampai sekarang aja gue nggak merasakan setitikpun kekompakan, baik dalam jurusan gue sendiri. Gue nggak men-judge begitu aja, sih. Kenyataannya memang begitu. Kami tidak lagi punya rahasia bersama, karena memang tidak pernah ada rahasia yang diceritakan di antara gue dan teman-teman baru gue. Semuanya sibuk dengan hidup mereka masing-masing, termasuk gue.

Terus, kenapa gue nggak mencoba terus bergaul? Kalau gue harus bergaul, gue lebih memilih bergaul dengan komunitas yang baru sama sekali daripada stay dan mencoba membuka sekat-sekat di angkatan gue. Sekat-sekat yang mereka bentuk udah tersemen dengan begitu keras, sulit untuk diruntuhkan. Karena itu, gue nggak mau buang-buang waktu buat meruntuhkan dinding-dinding itu, capek. Mending mencari kotak lain yang masih mungkin menerima gue dan memungkinkan gue untuk membuat kotak yang lebih besar untuk komunitas itu. Sederhana bukan?

Mungkin readers boleh bilang gue kuper, gue nggak gaul, gue freak, whatever. Yang pasti, gue sama sekali nggak tertarik buat berusaha meruntuhkan tembok-tembok semen itu. Buat sekat pribadi gue, gue bisa menyingkirkannya dengan mudah dan menutupnya lagi seperti membuka pintu kamar. Namun, ya begitulah, gue yakin gue nggak bisa lagi ngerasain perasaan yang sama dengan yang gue rasain saat gue mengucapkan salam perpisahan dulu. World changes, time changes, and people also change. Mungkin, gue juga akan berubah, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Gue masih ingin merasakan sekali lagi perasaan-perasaan itu, dan gue harap, gue bisa merasakannya di saat-saat gue wisuda nanti.

Senin, 10 Oktober 2011

New Things

Gwaaaa!!! Apa kabar blog-ku? Sudah lama aku tidak menyentuhmu. Maaf, ya, beribu maaf... *sambil bersih-bersihin debu*

Oke, how are you, readers? Maaf lama banget baru nongol lagi. Gue sibuk banget akhir-akhir ini, sibuk leyeh-leyeh maksudnya. Gue lagi SKRIPSI-an. Kuliah gue di semester 7 ini cuman hari Sabtu, jadi hampir tiap hari gue mendekam di kost, siap-siap ditumbuhin lumut nih badan gue. Gak lumutan juga, sih, gue bercanda. Biar nggak lumutan, gue membiasakan diri buat sering-sering gerak di kost, entah pergi ke gym atau ke mana. Pokoknya, biarpun deadline mendekat, gue nggak akan membiarkan otak gue terlalu nempel sama laptop gue.

Well, a lot of new things has happened to me lately. Gue pulang ke Pontianak buat liburan, and I ended up to regret it immediately afterwards. Nyokap ngomel terus ke gue pas adik-adik gue lagi nggak di rumah, gara-gara gue nggak ngambil magang pas liburan kemarin. Awalnya, sih, memang gue mikirnya nggak magang dulu, mau lanjut MLM di sana. Some things happened, dan gue memutuskan untuk memberhentikan bisnis MLM gue. Gue tetap nerima terapi akupunktur yang gak bakal pernah habis (toh pasti ada orang yang minta diterapi), but for the business, not anymore. Upline-upline gue sepertinya kurang menyadari kepentingan kehidupan pribadi gue, jadi sebaiknya gue meregangkan sendiri hubungan dengan mereka. It's not really a big deal, though, they aren't looking for me until now.

Gue berhasil menaikkan berat badan gue menjadi 62 kg. Idealnya masih tetap 65-68 kg, still a long way to go, tapi entah kenapa fitness adalah satu-satunya kegiatan yang gak bisa gue tinggalin. Udah jadi kebiasaan, dan entah kenapa gue ketagihan. Mungkin karena gue punya target, dan target gue masih belum tercapai sampai sekarang, ditambah lagi gue ngerasa, inilah yang gue mau, this is my life. Jadi, gue nggak akan berhenti di sini, tetap berjuang untuk punya badan atletis dan ideal.

September lalu, gue jadi PIC OMB (Orientasi Mahasiswa Baru) di kampus gue untuk mengayomi maba angkatan kelima. Orientasinya asyik-asyik aja, walaupun sangat melelahkan. Gue harus standby di kampus sejak jam 5.30 pagi dan baru ketemu sama kamar kost gue lagi sekitar jam 7 atau jam 8 malam. Setidaknya lebih bagus daripada tahun lalu, yang gue baru ketemu sama kamar kost jam 9 malam gara-gara evaluasi harian yang memakan waktu.

Di antara anak-anak kelompok PAUS yang gue pimpin, kebanyakan cewek. 10 cewek dan 6 cowok (1 kelompok 16 orang). Salah satunya cantik, dan gue akui sempat ada crush sih. Sayangnya, dia udah ada yang punya. Ya, udah, deh, gue let it flow aja dulu. Gue sedang tidak memusingkan soal cinta, back to my old self, ignorant but caring. Gue senang jomblo untuk saat ini, LOL.

Setelah OMB selesai, gue balik ke rutinitas sehari-hari, yaitu skripsi-an, gaming, dan gym. Rutinitas gue sehari-hari terasa cukup ngebosenin sebenarnya, hanya duduk di depan laptop, keluar makan siang, duduk depan laptop lagi, keluar makan malam, dan balik DUDUK DEPAN LAPTOP sampai waktunya tidur. Gym gue lakukan kebanyakan di pagi hari, kecuali beberapa hari yang memaksa gue buat gym di sore hari. Terkadang gue ke kampus buat ngubek-ubek buku-buku di perpustakaan, nyari referensi tambahan buat skripsi gue. Terkadang gue berkunjung ke Gramedia, as usual, nyari buku referensi lagi (yang seringkali gak bakal ada), atau sekadar jalan-jalan ke supermarket buat restock makanan. Actually, my life is quite boring these days, tapi gue ngerasa fine-fine aja, entah kenapa.


I'm starting to like Running Man. Running Man itu variety show dari Korea. Variety show-nya bikin ngakak banget. Gue sering nonton kalau lagi suntuk sama skripsi atau lagi kepingin hiburan. Sejauh ini, favorit gue tetap Kang Gary, Song Ji Hyo, Ha Dong Hoon, sama Lee Gwang Soo. Readers yang kepingin nonton, coba cari link download-nya, deh. Sebagian besar udah dipasang subtitle Inggris, koq, jadi nggak ada masalah buat yang gak bisa bahasa Korea (contohnya gue).


Oh, about gym. LOTY (L-Men Of The Year) 2012 is coming. Gue kepingin ikut, tapi di saat yang sama dengan audisi, gue harus ngurus magang gue, dan gue ga mungkin daftar audisi di Tangerang, karena akan dianggap gue kontestan dari Banten. Gue kepingin ikut pra-audisi di Pontianak, tapi takutnya waktunya nggak pas. Lagipula, gue masih terhitung kurus untuk ikut audisi. Berat badan gue belum sampai 67 kg yang merupakan batas normal kontestan-kontestan LOTY yang gue lihat tahun-tahun sebelumnya (untuk ukuran tinggi 170-175 cm). Tinggi gue 171, dan berat badan ideal adalah sekitar 65-68 kg, jadi gue masih berusaha menambah berat badan. Semoga berhasil, deh.

Mungkin segitu aja dulu, readers. Gue janji gue akan lebih update lagi nanti kalau gue lagi bosan berat. Ciao, guys :)

Kamis, 23 Juni 2011

Finally, A New Post

Akhirnya Ujian Akhir Semester selesai, dan akhirnya gue punya bahan baru lagi buat di-post di sini. UAS-nya sendiri nggak berat sih, tapi cukup melelahkan dengan banyaknya take home test yang harus dikerjakan. Kali ini gue pengen membahas tentang kejadian dalam hidup gue akhir-akhir ini.

Gue nambah gemuk. Akhirnya program gain mass gue berhasil. Peningkatannya memang nggak banyak, tapi cukup signifikan karena dosen yang udah lama nggak ketemu sama gue tiba-tiba ngomong: "Kamu gemukan ya?" Kalau udah orang lain yang mengatakan gue tambah gemuk, gue semakin semangat untuk nambah massa otot dan berat badan. Jujur aja, gue baru 60-61 kg, dan berat ideal buat gue adalah 65-67, jadi gue masih berusaha untuk menambah sambil tetap mempertahankan jangan sampai lemak badan gue meluber ke mana-mana.

Kabar terbaru dari keluarga gue adalah adik gue yang pertama rupanya ada sedikit masalah jantung. Dia nggak bisa lari jauh dan cepat, karena jantungnya nggak bisa mompa darah dengan optimal kalau dia kecapean. Lusa gue pulang Pontianak, dan gue bawa obat buat dia. Kasihan juga sih, soalnya seingat gue, walaupun adik gue itu cenderung pemalas di pagi hari, dia juga rajin olahraga. Setidaknya belum pernah ada masalah dengan kegiatan olahraganya di sekolah, dan dia masih oke-oke aja main badminton dan sebagainya. Semoga dengan obat yang gue bawa nanti dia segera sembuh deh.

Novel gue ditolak. Nggak apa-apa sih, itu proses yang harus gue lalui. Masih banyak penerbit yang mungkin akan menerima novel gue, tinggal ditowel aja satu-satu. Bahkan sebelum draft final novel gue benar-benar kelar dan selesai diedit di beberapa bagian yang masih rancu dan ganjil, gue udah mikirin ide buat novel baru. Gila ya? Begitulah gue, kalau udah urusan kesehatan atau tulis-menulis, otak gue muternya cepat. Teman-teman gue perlu waktu berbulan-bulan hanya untuk memikirkan ide cerita, dan gue bisa menghasilkan 50 halaman A4 draft novel dalam waktu yang sama. Apa aja bisa jadi ide cerita buat gue, mulai dari kegiatan sehari-hari, kisah sukses, sampai sesuatu yang orang anggap sangat absurd seperti dunia video game. Kalau udah keranjingan nulis jadi gini deh.

Gue mau nge-band lagi. Misi pertama gue setelah sampai ke Pontianak nanti adalah mengunjungi tempat gue latihan band bersama teman-teman gue dulu. Gue nggak tahu apakah tempat itu masih jadi tempat latihan band atau nggak, tapi at least gue pengen latihan band lagi. Gue pengen ngembaliin kemampuan keyboard gue yang menumpul. Rencananya nanti pas balik ke Jakarta, gue mau bawa seruling kesayangan gue yang pernah gue mainin pas jadi tim musik upacara 17-an pas SMA dulu. Itu satu-satunya alat musik yang sangat gue kuasai selain keyboard. Selain mau nge-band lagi, gue juga mau latihan nyanyi. Kalau yang ini otodidak sih, tapi gue udah nemuin warna suara gue, dan teman-teman bilang memang warna itu cocok buat gue. Suara gue pas lagi nyanyi lebih mirip dengan suara vokalisnya Dygta dan ADA Band. Gue bisa nyanyi lagu-lagu mereka dengan baik, sedangkan lagu band lain biasanya cenderung nggak powerful kalau dinyanyiin sama gue. Nggak apa-apa deh, yang penting gue udah nemuin kemampuan vokal gue, akhirnya :)

Terakhir, ini masalah yang paling sensitif dalam kehidupan gue. Lagi-lagi gue harus membahas soal cinta. Sebenarnya intinya cuma satu sih, gue pengen punya pacar. Lucu juga sih, beberapa teman gue terkadang ngeluh gimana susahnya dia harus maintain hubungan dengan kekasihnya, bahkan berharap supaya hubungan mereka segera berakhir dan memandang jomblo adalah suatu anugerah. Namun, nggak buat gue. Gue capek nge-jomblo. Gue pengen ngerasain gimana rasanya pacaran yang benar-benar pacaran dan gimana mengatasi konflik dalam hubungan asmara. Masalahnya, dari semua cewek yang pernah gue taksir, kebanyakan nggak mau sama gue, entah kenapa. Memang sih, gue nggak semenarik cowok-cowok yang bisa bikin ceweknya terbahak setiap hari. Gue tipe cowok analitis yang cenderung hanya bisa membuat joke yang terkesan jayuz. Hanya sedikit orang yang bisa terbahak waktu dengar gue bercanda.

Satu-satunya modal gue, sekaligus bumerang buat gue dalam urusan cinta adalah setia dan pengertian. Gue selalu mencoba untuk mengerti orang lain dan mencari tahu mengenai segala sesuatu mengenai orang yang dekat dengan gue. Bahkan, sebelum sempat jadian dengan satu cewek, gue akan cenderung setia sampai gue sadar kalau tuh cewek benar-benar nggak mau sama gue. Sebagian besar teman gue menganggap gue bodoh dalam soal ini. Mereka sering lihat gue jatuh bangun dan "luka-luka" hanya untuk mengejar cewek yang sejak awal udah nunjukin tanda kalau dia nggak mau sama gue. Sayangnya, gue bukan tipe yang menyerah semudah itu, dan sekarang, gue sedang berusaha supaya keunggulan gue ini nggak jadi bumerang buat gue nantinya.

Oh, gebetan? Well, how to say it? Boleh nggak kalau gue bilang gue suka sama lu di sini? Gue tahu lu selalu baca blog gue dan gue sadar kalau ini sama sekali bukan cara yang gentle buat ngungkapin perasaan. Sayangnya, kita susah banget ketemu. Gue nggak keberatan kalau lu nggak mau sama gue, yang jelas gue udah merasa lega kalau gue bisa ngomong langsung kayak gitu ke lu. Well, maybe not "like", "I LOVE YOU" is more like it. Percaya nggak kalau gue selalu berharap lu bisa balas SMS gue, atau balas saling mention di Twitter, atau chatting di Facebook? Mungkin berlebihan ya? Untuk yang satu ini gue lebay, tapi mungkin lebih tepat disebut, gue selalu galau mendadak kalau gue lagi mikirin lu, seriously. You're driving me crazy inside.

Hahaha, ya sudahlah, lupakan. Gue akan bilang langsung begitu keberanian gue memang udah ngumpul dan kita pas ketemu. Take care, GBU, I hope to see you soon :)
Oh, buat readers, maaf gue jadi curcol di sini, tapi nggak apa-apa deh, toh beberapa lama sekali juga kan gue baru update blog gue. Kalau mengganggu penglihatan, di-skip aja bacanya, sekalian nunggu post berikutnya dari gue. See you guys ;)

Rabu, 18 Mei 2011

Lelah

Hai, readers, sepertinya gue udah lama nggak nge-blog... Setelah curcol sesaat tempo hari (tempo hari apa tempo hari?), sekarang gue baru sempat nge-blog lagi. Banyak kejadian dalam kehidupan gue akhir-akhir ini, dan nggak mungkin gue post semuanya dalam satu post ini. Gila aja kali gue post semua, karena nggak ada yang terlalu penting. Kalaupun gue post semua, pastinya akan terkesan basi banget. Posting kali ini gue kasih judul "Lelah". Kenapa? Yah, banyak hal yang bikin gue entah kenapa merasa capek banget akhir-akhir ini... Mari kita bahas satu per satu.

Gue baru punya BB, dibeliin sama nyokap gue dengan konsekuensi uang bulanan gue dikurangi, jadi istilahnya kayak gue nyicil buat beli BB sendiri tanpa DP. Bagus sih, dengan ada BB ini komunikasi gue dengan teman-teman gue jadi lancar, dan terutama berguna banget dalam bisnis gue, soalnya jadi lebih enak ngobrol dengan rekan kerja atau pelanggan-pelanggan akupunktur gue. Kadang-kadang, adanya BB ini jadi bumerang juga buat gue, karena gue terkadang tahu hal-hal yang seharusnya nggak gue tahu. Tapi ya sudahlah, itu konsekuensi juga toh? :)

Buku gue baru aja gue revisi setelah melakukan tes pembaca, jadi tampaknya baru akan tiga sampai enam bulan lagi baru bisa terbit tuh buku. Masih banyak lubang menganga dalam cerita yang disadari sama pembaca gue, dan tentunya juga baru gue sadari setelah diberitahu. Gue nggak ngeluh untuk yang satu ini, karena gue mencintai kegiatan tulis-menulis, dan salah satu syarat agar novel gue laku nantinya adalah dengan tes pembaca, supaya gue tahu apa yang masih kurang dan perlu gue tambahin untuk memenuhi keinginan pembaca. Akhirnya Mei ini gue jadi punya kerjaan sampingan juga...

Gue lagi bikin daftar kata scrabble, yang jumlahnya bisa mencapai jutaan kata. Ini salah satu kegiatan yang melelahkan, karena gue senior di UKM English Club di kampus, dan gue udah pernah ikut lomba. List katanya bisa dicari di internet. Awal-awalnya, list kata masih bisa di-copy paste, tapi ujung-ujungnya, gue lebih banyak mengetik ulang kata-kata yang ada karena tidak lagi diurutkan sesuai jumlah huruf dan alfabetnya. Ini diakibatkan oleh website resmi Zyzzyva yang sedang update sehingga word list-nya nggak bisa diakses. Gue nggak yakin ini bisa kelar dalam waktu dekat. Capek bok ngetik-ngetik terus, tapi apa boleh buat... Soalnya nggak bakal ada yang mau gue serahin tugas ini, karena cuma gue yang tahu udah sampai mana gue bikin word list-nya, dan orang lain nggak akan serajin gue untuk men-double check apakah kata yang bersangkutan sudah terdaftar sebelumnya.

Berat badan gue udah meningkat dengan sukses menjadi 61,5 kg, akhirnya... Nggak sia-sia gue fitness selama empat bulan ini, akhirnya mengalami peningkatan berat badan yang cukup signifikan. Tinggal nambah enam kilo lagi dan berat badan gue jadi ideal. Mungkin perlu waktu, tapi nggak apa-apa, toh badan gue udah lumayan berbentuk juga. Pamer dikit boleh dong, gue udah ngabisin banyak biaya buat ngebentuk badan gue jadi ideal selama empat bulan terakhir :)

Gue mulai bosan kuliah. Sepanjang semester kuliahnya begitu-begitu aja, nggak ada perkembangan. Materinya diulang-ulang terus. Gue lebih banyak menghabiskan waktu di kelas dengan BBM-an, Facebook-an, Twitter-an, dan browsing saking bosannya. Gue merasa sia-sia gue bayar mahal-mahal buat kuliah. Gue sekarang kuliah hanya untuk melengkapi absen gue, karena di kampus gue ada batas ketidakhadiran maksimal 3x dalam satu semester. Kalau lebih dari itu, gue nggak bisa ikut UAS. Jadilah gue pakai jatah 3x bolos itu untuk berbagai hal :P

Yang paling bikin gue merasa lelah adalah masalah cinta. Ya, lagi-lagi cinta. Seperti kata Raditya Dika, kalau jatuh cinta bisa bikin tahi jadi rasa cokelat, patah hati atau cinta bertepuk sebelah tangan bisa bikin cokelat jadi rasa tahi. Gue buka bermaksud jorok, tapi itulah kenyataan yang gue alami sekarang. Masih cinta dengan si dia? Nggak terlalu lagi... Istilahnya, perasaan gue ke dia udah mulai pudar sedikit demi sedikit, dan sampai pada tahap di mana gue harus memilih antara menghilangkan perasaan itu selamanya atau berusaha untuk kembali memupuknya. Gue pengen menghilangkan perasaan itu, tapi gue merasa sayang untuk mengakhirinya begitu aja, karena gue belum sampai pada tahap di mana gue berhasil menyatakan perasaan gue ke dia.

Tanggal 2 Mei kemarin, putri pertama dosen sekaligus sahabat terbaik gue lahir. Entah bagaimana, gue merasa sayang banget sama nih bayi. Beberapa kali gue foto dan gue pasang jadi profpic di BBM sampai ada yang nanya-nanya ke gue, ngirain itu saudara gue. Namun, lain dengan rekan-rekan bisnis gue. Mereka tahu dosen gue nggak ada hubungan darah apapun sama gue, tapi mereka tetap menganggap anak dosen gue itu sebagai keponakan gue. Lucu juga, sih, tapi entah gimana gue nggak nolak dianggap begitu, malahan senang.

Kehadiran si kecil ini justru bikin gue makin mempertanyakan diri gue sendiri. Sebenarnya cinta apa sih yang gue harapin? Gue cenderung susah buat jatuh cinta. Gue sendiri bingung dan nggak bisa ngejelasin gimana gue bisa jatuh cinta sama satu cewek untuk waktu yang lama. Pertama kali gue suka sama cewek adalah pas kelas 3 SMP, dan setiap tahunnya, selalu ada cewek yang berhasil menarik perhatian gue. Namun, sampai sekarang, baru tiga yang pernah gue "tembak", dan semuanya menolak. Gue pacaran baru satu kali sampai sekarang.

Gue bukan tipe yang takut akan ketidakpastian. Hubungan cinta itu, gue akui, agak aneh. Terkadang gue bisa merasa sangat tertarik dengan seorang cewek sampai ngejar dia mati-matian, mimpiin dia tiap malam, dan berujung pada sakit hati yang mendalam. Ya, gue tahu ini mellow banget, dan gue nggak bermaksud untuk begitu, tapi yang memang begitu (gimana sih?).

Kedekatan gue dengan dosen gue dan anak bayinya ini bikin gue mempertimbangkan satu lagi wanita untuk masuk dalam kehidupan gue. Masalahnya, kehadiran wanita ini mungkin akan menghancurkan semua memori gue tentang keluarga gue. Gue nggak lebay, memang begitu kenyataannya, karena dosen gue bukan Chinese, dan nyokap gue nggak akan pernah ngizinin gue buat menjalin hubungan dengan orang yang bukan Chinese. Bukan berarti gue suka sama dosen gue (dosen gue cowok dan dia udah PUNYA ISTRI), tapi gue mempertimbangkan adik kandungnya. Dalam sejarah keluarga dosen gue, dari empat bersaudara, dua udah nikah, satunya sebentar lagi nikah, dan satu lagi kuliah di kampus yang sama dengan gue. Semua menantunya Chinese, sedangkan keluarga dosen gue Jawa tulen.

Di sinilah letak kenapa gue merasa lelah. Lelah fisik bisa gue sembuhin dengan istirahat dan suplemen, tapi tidak dengan lelah mental. Gue mempertanyakan diri gue sendiri, sebenarnya apa yang gue mau? Gue berjalan seolah tanpa arah tujuan. Gue bisa mikirin satu cewek lama banget tanpa tahu gimana caranya gue bisa dekat ke dia dan "nembak". Di saat yang sama, gue bisa memasukkan sosok cewek lain yang istilah kasarnya bisa gue jadiin "serep" ke dalam hati gue. Namun, sayangnya, ketika gue sedang patah hati, "serep" itu nggak berfungsi. Gue bukan playboy, tapi entah kenapa gue selalu begitu. Hanya beberapa cewek yang pernah gue suka yang beruntung nggak gue jadiin "serep", dan gue selalu berharap kebiasaan gue nggak kebawa sampai nikah nanti.

Saat ini, gue harus memilih, antara memupuk kembali perasaan itu ke dia, atau membuangnya dan mencoba mencari yang lain. Dia ini Chinese, jadi gue merasa kalau gue bisa dapetin dia, suatu anugerah buat gue karena nyokap gue nggak akan bertanya macam-macam. Jika gue memilih untuk mencari yang lain, gue kembali berhadapan dengan buah simalakama. Hanya satu cewek yang gue pikir bisa gue dekatin saat ini selain si dia, dan PDKT dengan cewek ini bisa berakibat fatal, karena mempertaruhkan cinta gue ke keluarga gue sendiri. Sebagai anak tertua, gue diharapkan oleh nyokap gue bisa ngambil keputusan yang benar-benar bijak, dan gue sendiri nggak ngerti mana keputusan yang benar dan mana yang salah, karena memang pilihan seperti itu selalu ada dalam kehidupan gue. Kali ini, pilihan ini bikin gue lelah secara mental, karena manapun yang gue pilih, rasanya pilihan lain itu akan kandas selamanya. Semua pilihan itu terasa benar, sekaligus terasa salah.

Gue bingung seribu keliling. Gue nggak berani cerita ini bahkan ke teman terdekat gue, karena mereka juga nggak akan membantu dalam memutuskan pilihan. This is my story, dan tugas gue-lah untuk menentukan gimana cerita hidup gue akan berjalan dan berakhir. Masalahnya, jika gue nemu jalan bercabang yang penuh cabang kayak gini, gue nggak akan bisa mutar balik kalau nemu jalan buntu, karena waktu nggak akan bisa diputar kembali... Dan gue nggak mau melakukan kesalahan yang fatal dalam keputusan gue...

Yah, mungkin cukup sekian dulu... Sampai saat ini gue belum bisa ngambil keputusan. Gue hanya bisa melakukan pekerjaan lain yang mengalihkan pikiran gue dari masalah ini untuk sementara waktu, dan kembali menghadapi jalan bercabang yang sama begitu kerjaan gue selesai... Mungkin readers ada saran? Kalau ada silakan comment. Yang jelas, semua saran akan gue pertimbangkan baik-baik. Ujung-ujungnya toh semuanya bergantung sama keputusan gue, karena sekali lagi, this is my story, and I'm the director of my own life.

Minggu, 27 Maret 2011

La Lumière de L'Espoir

Hi, guys! Udah satu bulan lebih gw ga nge-blog, soalnya gw lagi concern banget sama buku gw. Sekarang, tepat jam 19.00 tadi, buku gw kelar! Yeah! Rasanya lega banget. Walaupun belum diterbitin dan belum pasti diterima, entah kenapa gw merasa senang banget. Soalnya gw udah ngorbanin banyak waktu selama satu bulan ini hanya untuk merampungkan satu buku itu.

Ceritanya banyak yang gw ubah. Planning awal yang gw tetapkan terpaksa gw ubah karena banyak masukan dari berbagai pihak. Genre buku gw kali ini adalah teenlit dewasa, jadi hanya boleh dibaca oleh remaja berusia 17 tahun ke atas. Perubahan yang gw lakuin termasuk mengganti judul, mengubah alur cerita, memutarbalikkan fakta yang udah gw planning dari awal, dan sebagainya. Kalau mau jujur, ini buku terberat yang pernah gw tulis, dan gw yakin masih banyak kesalahan di sana-sini yang perlu diedit. Namun, gw puas banget setelah merampungkan bagian epilog tadi. Rasanya mungkin seperti melahirkan anak. Selama satu bulan ini gw selalu tidur di atas jam 12 malam, bangun jam 7 pagi untuk siap-siap kuliah, bahkan menulis di sela-sela gw ngerjain tugas, nyuci baju, dll, mirip kayak ibu hamil yang ngerawat kandungannya sambil masak, nyapu-nyapu rumah, ngepel, dan sebagainya. Intinya, sih, gw senang banget, terutama karena bulan Maret 2011 ini adalah bulan yang paling kelam yang pernah gw alami dalam hidup gw.

Paling kelam gimana? Ya intinya begini. Gw bertengkar entah untuk keberapa kalinya sama nyokap gw soal BB. Keuangan keluarga lagi susah banget sekarang, bahkan gw sempat nggak yakin pengen ngelanjutin kuliah lagi di sini kalau tiap tahun uang jajan gw harus dinaikin. Gw bertengkar juga sama adik gw soal yang sama. Ya, nggak terlalu penting, sih, sebenarnya, soalnya hape gw yang jadul ini masih bisa dipake. Gw pengen pake BB hanya karena gw pengen dapat update info-info seputar kuliah dengan lebih cepat. Udah nggak kehitung berapa kali gw ga dapat info soal kuliah yang batal atau kelas pengganti dan sejenisnya, soalnya teman-teman gw kebanyakan pake BB, dan lewat BBM-lah berita itu menyebar duluan. Ironisnya, dengan adanya fasilitas FB, Twitter, YM, dan BBM itu, fasilitas SMS jadi terlupakan.

Kedua, gw ditolak mentah-mentah sama cewek yang gw taksir, bahkan sebelum gw sempat nembak. Mungkin dia sibuk dengan persiapan ujian, gw gak tahu. Yang pasti, dia udah nolak gw, dan jujur, hati gw sakit. Gw sempat down satu dua hari waktu gw tahu fakta kalo dia pengen gw menjauh dari dia, apalagi di saat yang sama gw debat kusir sama nyokap. Jadilah gw nangis semalam sebelum gw tidur, meluapkan isi perasaan dengan meneteskan air mata diam-diam. Besoknya, gw langsung jadi orang yang keranjingan nulis. Gw bolos kuliah pagi buat ngelanjutin novel gw, sebagai pelampiasan kekesalan dan kesedihan gw. Kedengarannya aneh ya, tapi nyata, soalnya gw beneran nangis malam itu, berharap Tuhan mempermudah jalan gw.

Bisnis MLM gw juga lagi kurang lancar. Banyak yang mesen produk dari gw tapi gak mau ngasih duit dulu. Belum lagi tuntutan keuangan yang terus ngikutin gw dari belakang akhir-akhir ini. Sungguh menyiksa, memang. Tapi, akhirnya, di tengah deraan dan siksaan mental itu, gw bisa merampungkan buku gw. Gw lega banget, walaupun gw tahu masalah hidup gw belum selesai sampai di situ. Setidaknya satu masalah selesai, dan itu udah cukup memuaskan bagi gw.

Judul novel gw juga gw ganti menjadi La Lumiere de L'Espoir, bahasa Prancis dari Light of Hope. Ceritanya menggambarkan tentang gimana hubungan dua orang yang gak pernah saling kenal bisa menjadi hubungan yang saling memberikan cahaya harapan. Ironisnya, judul itu juga menggambarkan kehidupan gw sekarang. Gw harap novel ini benar-benar bisa menjadi cahaya harapan bagi gw, menerangi gw supaya gw bisa terus berjalan. Segelap apapun jalan kita, kalau ada cahaya yang memandu, pasti semuanya akan baik-baik aja, dan itulah yang gw perlukan saat ini. Semoga buku ini benar-benar jadi cahaya buat gw. jadi, wish me luck ya guys, karena gw akan segera mengirimkan novel gw ke penerbit dalam waktu dekat. See you later, readers :)

Selasa, 22 Februari 2011

Dua Dunia Satu Pelita

Hai readers! Akhirnya blog ini gw buka lagi. Setelah sibuk dengan UAS dan Imlek di kampung, sekarang gw mau cerita tentang plan novel baru gw.

Udah beberapa kali gw mencoba menulis buku tentang hal-hal yang non-fantasi, tapi tetap aja sulit. My mind is stuck with my own dramatized true story and the world of fantasy. Akhirnya, setelah bertapa dua minggu di Pontianak dan melihat poster EXPO di kampus, gw jadi kembali terinspirasi. Waktunya untuk mencoba menulis novel yang serius dan mengena di hati pembaca. Di blog ini, gw akan mencoba menulis garis besar ceritanya secara ringkas. Just read it, guys! :)

"Namaku Agustinus Rionaldy Hermanto, biasanya dipanggil Rio. Aku seorang Katolik. Aku tidak ingat kapan aku menjadi Katolik, bahkan aku tidak ingat apapun tentang masa kecilku. Aku tinggal di seminari, diasuh oleh Pastor Bartolomeus. Meskipun aku tinggal di seminari, beliau tidak mengharuskanku untuk mengikuti pelajaran di seminari dan menjadi seorang biarawan. Justru, beliau selalu berkata padaku untuk mengikuti kata hatiku.

Hidupku yang damai di biara berubah 180 derajat setelah biara tempat tinggalku diledakkan oleh sekelompok teroris pada tahun 2001. Beberapa di antara kami yang bertahan hidup saling berselisih, hingga akhirnya kami berpisah. Tanpa bimbingan Pastor Barto, aku pun mengembara tak tentu arah. Kata teman-temanku, dia sudah meninggal, tapi aku tidak percaya sebelum aku bertemu dengan jasadnya yang tak bernyawa.

Sekarang, aku seorang pengamen yang tidak punya apapun yang bisa dibanggakan. Selama ini aku hanya menyanyi untuk bertahan hidup. Aku menghadapi semua cemoohan dari sesama pengamen yang tidak menyukai agamaku. Terkadang, aku menambah luka baru di tubuhku dengan mempertahankan jatah makan siangku dari gelandangan lain. Hidupku kini tidak menentu. Bisa bertahan hidup saja sudah syukur. Aku hanya ingin agar bisa bertemu kembali dengan Pastor Barto. Aku percaya bahwa dia masih hidup di suatu tempat di dunia yang gelap ini."

"Gue Tia. Nama lengkap gue gak penting. Tapi kalo loe mau tahu nama lengkap gue, ya udah, gue kasih tahu. Christie Guntoro. Hanya itu. Nama yang sangat gue benci. Gue udah lima kali mencoba bunuh diri dengan berbagai cara, gak tahan dengan dunia yang payah ini, tapi selalu gagal gara-gara lelaki setan itu. Gue tahu, dia cuman nyelamatin gue supaya gue bisa terus dia pakai sesuka hati untuk memuaskan birahi liarnya, dan gue benci, sangat benci dengan dia.

Gue ateis. Awalnya sih Kristen, tapi gue ga percaya lagi sama Tuhan. Tuhan itu gak ada. Kalo Tuhan ada, kenapa bisa gue dibiarin diperkosa oleh lelaki setan yang memberikan namanya sebagai nama belakang gue? Kenapa gue harus hidup dalam cengkeraman nafsu duniawi yang menyiksa fisik dan batin? Kenapa gue harus hidup bersama bokap gue yang selalu menjadikan gue mainannya? Gue sama sekali gak percaya sama Tuhan.

Selama ini, gue cuman bisa mencurahkan kesedihan gue ke dalam buku harian gue. Menulis, itu satu-satunya cara buat gue keluar dari kehidupan gue yang menyebalkan. Gue memang punya uang berlimpah. Gue belum pernah hamil dari hubungan laknat dengan lelaki setan itu. Gue memang masih punya nyokap yang sayang banget sama gue. Tapi hidup gue bikin gue lupa caranya berekspresi. Gue selalu menggambarkan tokoh dalam tulisan gue dengan berbagai ekspresi, tapi gue sendiri gak pernah bisa berekspresi lagi. Gue nggak tahu apa maksudnya senang, sedih, marah. Bagi gue, semuanya sama aja. Gue cuman pengen satu hal, kalo memang Tuhan itu ada, tolongin gue dari kehidupan laknat ini. Gue berharap pria brengsek itu mati secepatnya dan menghilang dari kehidupan gue."

Terus? Gimana kelanjutan ceritanya? Ya sudah, nantikan saja ya kawan-kawan. Sebaiknya gw mulai menulis, jangan sampai ide cemerlang ini lenyap ditelan waktu. See you later, guys!

Kamis, 13 Januari 2011

Sempurna

Judul post ini persis dengan judul lagu yang pernah hits banget di tahun 2007-2008an. Bukan hanya di seluruh Indonesia, melainkan juga di sekolahku dulu, SMA Gembala Baik. Lagu pop nge-hits itu sudah biasa, terutama di sekolahku dulu. Namun, jika lagu itu nge-hits sampai dinyanyikan oleh seluruh sekolah, itu baru luar biasa. Lho? Kok bisa?

Beberapa hari yang lalu aku menulis status di Facebook-ku seperti ini: Rayca Aryani Chang, Cornelius Lutiono, Teddy Susanto, Eldo Sebastian Tandra, nge-band lagi yuk :)
Keempat orang itu adalah nama teman-teman band-ku yang sangat luar biasa. Band kami dulu kami beri nama Undo, sebuah fungsi untuk membatalkan kembali sesuatu yang kita lakukan dalam program-program komputer. Nama ini, bagi kami, adalah nama kebangkitan kami ketika kami nge-band di kelas XII. Selama dua tahun sebelumnya, band-ku mengalami keterpurukan yang amat sangat, bahkan hampir tidak ada yang menyadari kalau kami satu band. Dengan personil dan nama yang berganti-ganti, akhirnya kami menemukan kekompakan yang paling klop di band Undo ini, dengan personil baru Rayca dan Cornel.

Rayca berada di posisi lead vocal, Cornel di posisi gitar melodi, Teddy sebagai drummer, Eldo sebagai bassist, dan aku di posisi keyboard + backing vocal. Awalnya sih tidak ada backing vocal, tapi justru dengan ada backing vocal itulah, band kami bisa dikenal di seluruh sekolah, dengan lagu pop yang musiknya kami aransemen sendiri, Sempurna.

Memang, lagu ini orisinilnya milik Andra and the Backbone. Karena terlalu mellow, kami mencoba mengaransemen ulang musiknya dengan bantuan pelatih band kami, Bang Agus, dan hasilnya luar biasa. Ketika Valentine Night terakhir kami di SMA Gembala Baik, kami menampilkan lagu itu. Selama satu minggu setelahnya, lagu itu berkumandang di seluruh sekolah, dan nama band kami mulai dikenal.

Lagu ini juga kembali nge-hits ketika kami membawakannya di acara perpisahan sekolah. Saat itu, teman-teman kami menunggu pertunjukan lagu Sempurna dari kami, walaupun kami punya lagu baru. Setelah membawakan lagu baru yang tidak mendapat terlalu banyak respon yang positif, mood penonton naik drastis ketika lagu Sempurna kami bawakan.

Momen-momen itu adalah momen yang tak terlupakan bagi kami. Bahkan, sebelum berpisah, kami sempat berjanji untuk kembali berkumpul dan nge-band bersama lagi. Aku dan Eldo kuliah di UMN Serpong, Teddy di Untar Grogol, Cornel Di Untan Pontianak, Rayca di Singkawang.

Dua tahun lebih sudah berlalu sejak performa kami terakhir kali. Ketika aku melihat konser Kerispatih di Summarecon Mal Serpong, memori-memori lama itu muncul kembali di kepalaku. Kerispatih punya vokalis baru setelah kasus narkoba Sammy, dan bagiku, vokalis baru ini tidak sebagus Sammy. Secara keseluruhan, Kerispatih yang dulu dan band-ku punya passion yang sama. Kami nge-band bukan untuk mencari ketenaran, melainkan untuk menghibur penonton. Band dengan passion seperti itulah yang lebih mampu membuat band menjadi sukses. Aku ingat betul ketika band David dkk mencoba membawakan lagu Sempurna juga di pesta perpisahan. Hasilnya tidak sebaik band kami, karena pertama, aransemennya agak sedikit menjiplak aransemen band kami, dan kedua, passion mereka adalah mencari ketenaran seperti band Jepang bernama L'Arc~n~Ciel.

Mengingat kenangan-kenangan itu, aku kembali mengajak mereka untuk nge-band bareng lagi lewat status Facebook. Aku tidak tahu frekuensi mereka membuka Facebook. Entah kenapa, hanya aku yang memiliki keinginan kuat untuk kembali menggeluti dunia musik dan tarik suara. Yang lain tidak seminat itu. Aku sempat membuat band lagi semenjak kuliah di sini, dan hasilnya gagal total. Personilnya tidak ada yang konsisten dan menganggap band hanya sekadar hiburan, bukan ajang menempa bakat dan minat. Aku punya analisis sendiri akan sikapku yang agak aneh ini, tapi mungkin tidak terlalu penting untuk dijabarkan di blog ini. Yang pasti, band ini, bagiku, adalah salah satu impianku yang terdalam. Aku ingin menjadi seorang pemusik, dan jalan yang kupilih adalah lewat band, tidak peduli apa kata orang lain.

Saat ini, aku hanya berharap, teman-temanku itu tertular semangatku lewat Facebook dan punya harapan yang sama. Aku benar-benar ingin, suatu hari nanti, kami bisa main band bersama lagi, tidak peduli latar belakang kami setelah lulus kuliah nanti. Aku memang sudah kehilangan sense keyboard akibat dua tahun tidak menyentuh alat musik tersebut. Namun, setidaknya, aku masih bisa mendengar keyboard yang dimainkan di setiap lagu yang kudengar dari program Winamp-ku di komputer, dan jika aku harus melatih ulang kemampuanku, aku siap melakukan itu, apapun resikonya. Tidak ada kata terlambat bagiku untuk belajar.

Bahkan, sampai saat ini, masih kuingat jelas aransemen dan kunci lagu Sempurna yang membuat kami tenar sesaat di SMA dulu. Musik itu sayup-sayup masih berkumandang di telingaku, entah karena aku begitu ingin kami memainkan lagi lagu itu atau karena lagu itu punya arti yang begitu mendalam untukku, atau mungkin malah dua-duanya, entahlah... Yang jelas, lirik lagu itu masih begitu membekas dalam pikiranku.

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku, lengkapi diriku
Oh, sayangku, kau begitu sempurna...

Jumat, 07 Januari 2011

Stop Degrading Yourself

Ini entah keberapa kalinya saya menulis tentang berpikir positif. Lucunya, sih, tidak ada yang benar-benar menanggapi serius kekuatan pikiran dan perkataan diri sendiri. Bukannya meremehkan atau bagaimana sih, tetapi kebanyakan teman-teman saya selalu berpikir jelek dan menjelek-jelekkan dirinya sendiri. Saya juga pernah seperti itu, sering malah, tapi percayakah Anda bahwa pikiran dan perkataan Anda-lah yang membuat Anda mudah/sulit melakukan sesuatu?

Seringkali kita mengatakan hal-hal ini kepada diri kita sendiri, dan saya akan mengelompokkan kalimat-kalimat yang sering diucapkan oleh kita ketika kita sedang menjelek-jelekkan diri kita sendiri.

Tingkat 1: Tingkatan yang paling ringan. Kalau kita masih mengatakan kalimat ini untuk diri kita, masih sangat mungkin bagi kita untuk segera berubah haluan ke pikiran positif.
- Kayaknya gue ga bisa deh kalo begini.
- Bagus, sih, tapi kayaknya gue ga bisa.
- Ya, gimana, ya? Gue ragu kalo gue bisa.

Tingkat 2: Tingkatan sedang. Di tingkatan ini, sudah mulai sulit merubah jalan berpikir kita, meskipun belum mustahil.
- Gue mah paling ga bisa kalo udah beginian.
- Gue kan paling ga bisa kalo harus ****** (diisi dengan ketidakbisaan Anda, seperti "ngomong di depan publik", "tidur larut malam", "bangun pagi-pagi", dll)
- Loe kan tahu kalo gue ga bisa kerja yang beginian.

Tingkat 3: Tingkat yang paling gawat. Kalau pikiran Anda sudah di sini, hampir mustahil untuk mengubah cara berpikir Anda, karena Anda sudah terlalu ngebet dengan pernyataan-pernyataan ini.
- Gue takut kalo yang gue bikin salah, soalnya gue ga bisa.
- Pokoknya gue paling ga bisa kalau ****** (diisi dengan ketidakbisaan Anda, seperti "ngomong di depan publik", "tidur larut malam", "bangun pagi-pagi", dll)
- Gue mah dari dulu udah tahu kalo yang beginian, karena gue paling ga bisa, titik!

Sadarkah Anda, bahwa dengan mengatakan bahwa "Anda tidak bisa", secara tidak langsung Anda berkata, "Tuhan, kok loe ciptain gue ga bisa, sih?". Ketika Anda berkata, "Gue mah ga bisa kalo harus ngomong di depan umum," versi panjang di balik perkataan Anda adalah, "Ya Tuhan!!! Kenapa sih ciptaan-Mu ini agak kurang-kurang dikit, sih? Koq loe ciptain gue ga bisa ngomong di depan umum sih?!"

Siapa di antara Anda yang percaya Tuhan itu sempurna? Kalau Tuhan sempurna, dan Dia menciptakan manusia menurut gambaran diri-Nya, manusia berarti makhluk yang sempurna, dong. Berhentilah menjelek-jelekkan diri Anda sendiri. Anda mungkin jelek dalam satu bidang, tetapi pasti ada satu bidang yang Anda kuasai dengan baik. Anda bukan tidak bisa dalam mengerjakan suatu hal, Anda hanya kurang ahli dalam mengerjakannya, bukan tidak bisa. Jika Anda terus-menerus mengatai diri Anda tidak bisa, maka Anda akan benar-benar tenggelam dalam pernyataan itu dan seterusnya Anda tidak akan pernah bisa. Karena perkataan itu sudah menyelimuti Anda seluruhnya, Anda tidak akan sadar bahwa ketidakbisaan dalam diri Anda itu akibat perkataan Anda sendiri.

Terus gimana, dong? Mulailah berpikir positif. Anda adalah ciptaan-Nya yang sempurna. Memang sulit untuk membuang pikiran negatif yang terus-menerus berkata "Anda tidak bisa". Namun, tidak ada salahnya mencoba. Jadi, mulai sekarang, ketika Anda menghadapi tugas yang sulit dan hampir mustahil, katakan pada diri Anda, "Saya pasti bisa. Di balik tugas yang sulit ini, pasti ada sesuatu yang indah untuk saya gapai." Ulang terus pernyataan itu setiap kali Anda menghadapi tugas apapun dalam situasi apapun, jangan peduli perkataan orang lain yang mencemooh Anda. Jika Anda terus berpikir "saya tidak bisa", jangan salahkan siapa-siapa kalau suatu hari nanti, Anda tidak berhasil mendapatkan apa yang Anda inginkan, karena pikiran Anda sendirilah yang menjerumuskan Anda, bukan orang lain. Orang lain hanya realitas yang terbentuk dari pikiran Anda. Jika Anda berpikir negatif, sepositif apapun perkataan orang lain, Anda akan terus memaknainya secara negatif. Sebaliknya, jika pikiran Anda positif, kalimat-kalimat negatif akan terdengar seperti suatu berkat di telinga Anda. So, be positive, guys!