Pages

Minggu, 25 Desember 2011

The End of 2011

Hai readers, kita ketemu lagi. Sebelum mulai, gue mau ngucapin Happy Mother's Day dan Merry Christmas dulu buat readers semua, hehehe. Tidak terasa kita sudah berada di penghujung tahun 2011, ya? Berarti sebentar lagi kita akan memasuki waktu penentuan, penentuan apakah peristiwa yang terjadi dalam film 2012 nyata atau tidak. Yah, banyak-banyak doa, refleksi, dan introspeksi diri aja, deh, ya. Gue yakin gak bakal kiamat, sih, walaupun gue yakin mungkin akan ada bencana besar, tapi gak bakal sampe kiamat lah ya.

22 Desember lalu, gue diajak chat sama adik gue. Bertepatan dengan Hari Ibu, gue kirim SMS ke nyokap gue, yang isinya "Ma, selamat Hari Ibu. You're the best Mom in the world. Semoga Mama selalu diberkati Tuhan". Pendek, ya? Yep, pendek. Gue paling males mau bikin SMS atau pesan BBM yang panjang banget yang penuh dengan emoticon dan simbol-simbol aneh. SMS kayak gitu, menurut gue, kreatif, tapi capek bikinnya. Kalau gue pernah ngirim SMS atau BBM yang penuh emoticon gitu, biasanya hanya karena copy-paste dari teman.

Oke, cukup basa-basinya. Gue chatting sama adik gue via YM. Dia negur gue karena gue jarang ngobrol atau cerita apapun soal kegiatan gue di sini ke nyokap gue atau ke dia, yang bikin dia ngebet banget pengen nabung buat beli BlackBerry Torch. Yah, terserah dia sih mau beli hape apapun juga, bukan urusan gue. Tapi teguran dia bikin gue berasa terbang ke masa-masa ketika gue masih SD.

Nyokap gue single parent sejak gue kelas 2 SD. Gue, nyokap, dan dua adik gue yang masih kecil banget harus tinggal di rumah kakek dari pihak bokap yang konon udah penuh sesak. Kakak dan adik almarhum bokap gue banyak yang nikah tanpa bisa beli rumah atau ngontrak rumah sendiri, karena itulah mereka masih tinggal sama istri/suami dan anak-anak mereka di sana. Hanya sedikit yang udah cukup mapan dan memilih untuk tinggal di rumah sendiri, seperti almarhum bokap gue. Tapi, dengan nggak adanya bokap, rumah gue pun dikontrakkan, dan nyokap berjuang sendiri membesarkan ketiga anaknya ini sampai gue bisa kuliah kayak sekarang.

Gue sangat jarang ngobrol santai dengan nyokap sejak gue kecil. Nyokap sibuk kerja, baik mencari nafkah maupun kerjaan rumah tangga lainnya. Obrolan yang gue lakuin sama nyokap gue biasanya hanya seputar "Ma, ada kerja kelompok di rumah si A", "Ma, besok ada praktikum, aku ditugasin buat bawa ini, ini, sama ini", "Ma, nanti sore aku mau jalan-jalan sama si B ke mal", dan lain sebagainya. Nggak pernah sekalipun gue cerita tentang kesukaan gue, hobi gue, atau kehidupan pribadi gue yang notabene hampir tidak pernah diketahui oleh nyokap.

Yang diketahui oleh nyokap hanyalah gue adalah orang yang seringkali ambisius, serius, pendiam, kuper, doyan game, agama Katolik, dan hal-hal lain yang mirip dengan pengetahuan orang-orang lain di luar tentang diri gue. Setelah gue pikir-pikir, memang sampai sekarang pun gue sangat jarang membuka diri dan bercerita panjang lebar soal kegiatan gue di sini sama nyokap. Alasannya simpel, gue nggak biasa buat cerita, dan nyokap sampai sekarang pun masih sibuk dengan berbagai kerjaan.

Setelah nyokap punya pacar lagi, kesibukan nyokap berkurang sedikit. Setidaknya, nyokap jadi lebih bisa fokus ke kerjaan rumah tangga, walaupun dia masih sibuk buat nyari duit tambahan dari kerjaan halal apa pun yang bisa dia lakuin. Namun, walaupun nyokap udah sedikit lebih santai, gue nggak pernah kepikiran buat cerita apapun soal kegiatan gue yang sekarang lebih banyak ngabisin waktu di Serpong dan Jakarta ini.

Nyokap nggak tahu kalau gue suka banget sama yang namanya aksesoris. Saking sukanya, gue pernah sembunyi-sembunyi beli kalung perak di mal sampai akhirnya kepergok sama adik gue dan dia lapor ke nyokap. Baru akhir-akhir ini nyokap mulai tahu kalau gue mulai memperhatikan penampilan dengan rutin fitness dan mulai terang-terangan browsing aksesoris di mana-mana. Nyokap nggak tahu kalau gue masih memegang erat impian gue buat jadi pemusik, karena dia nggak pernah tahu gue suka nyanyi-nyanyi di jalan kalau gue pake motor ke mana-mana dengan full helmet, atau masih berusaha ngedengerin musik dari lagu-lagu yang gue putar di hape Sony Ericsson gue yang udah butut pake handsfree dengan saksama.

Nyokap gak tahu kalau gue udah berapa kali crush sama cewek selama gue kuliah, tapi nggak pernah benar-benar pacaran seperti waktu gue SMA. Baru liburan kemarin dia nanya-nanya ke gue apa gue pernah ketemu cewek cantik atau menarik di kampus (dan gue akan merespon dengan "cewek cantik sih sering ketemu, cuma gak ada yang pas"). Nyokap gak tahu kalau gue kepingin banget punya kamera saku (atau kalau memungkinkan, DSLR). Walaupun gue bukan seorang yang fotogenik maupun demen sama fotografi, tapi gue pengen punya kamera yang resolusinya lebih tinggi daripada kamera BlackBerry gue yang cuma 2 MP.

Terakhir, nyokap nggak pernah tahu gue terus mengatur pengeluaran setiap harinya dan berusaha menabung untuk membeli barang-barang mahal yang gue mau. Dia nggak tahu kegiatan-kegiatan gue selain kuliah (dan skripsian untuk tahun ini). Dia nggak tahu gue masih demen banget nulis dan rajin nge-blog sampai sekarang.

Mungkin kalau teman-teman gue baca post ini, mereka bakal mikir, "Gila lo, Wen, nyokap lo gak pernah lo kasi tahu apa-apa soal suka-dukanya kehidupan lo. Dia kan satu-satunya ortu lo sekarang. Kenapa sih nggak jujur aja?" Alasannya sebenarnya cukup simpel, tapi nggak banyak yang bisa ngerti alasannya ini. Gue nggak mau ngerepotin nyokap. Nyokap gue udah cukup sibuk dengan mengurus kedua adik gue yang masih sekolah dan ngurusin keuangan keluarga gue. Udah cukup adik-adik gue yang cerita masalah kehidupan mereka ke nyokap gue, nggak perlu ditambah gue cerita soal PDKT, fashion, kuliah, dan lain sebagainya.

Gue sampai sekarang merasa fine-fine aja sama rutinitas gue. Kalaupun ada masalah, I can handle them by myself. Kalau nggak bisa gue selesaikan sendiri, ya gue cari bantuan dari sahabat-sahabat gue, sederhana kan? Gue nggak pernah kepikiran buat sampai telepon atau SMS nyokap "Ma, aku lagi stres, skripsi ribet banget". Bukan gue banget. Teman-teman gue bisa bilang gue orangnya introvert, gak gaul, terserah lah. Menurut gue, urusan gue adalah urusan gue, gue nggak perlu melibatkan nyokap ke dalam kegalauan gue setiap malam, atau cerita soal debat gue di forum-forum yang gue ikutin, gak penting (buat nyokap gue).

Kalau gue ada masalah, sahabat-sahabat gue selalu ada buat gue, dan gue merasa lebih nyaman cerita sama mereka. Seandainya bokap gue masih ada, mungkin gue akan cerita ke nyokap masalah-masalah gue, tapi kan kenyataannya sekarang nggak seperti itu. Gue berusaha untuk selalu jujur kok sama nyokap, meskipun untuk beberapa hal gue harus bohong. Di sini, maksud gue adalah bohong yang baik. Gue selalu berusaha supaya nyokap gak pernah khawatir dengan keadaan gue di mana pun gue berada. Mungkin, suatu hari nanti, kalau gue di-opname di rumah sakit, gue pun nggak akan memberi tahu nyokap keadaan gue selama gue masih bisa mengatasinya sendiri.

Walaupun gue tahu, mungkin nyokap selalu khawatir dan penasaran dengan keadaan gue yang jauh dari dia, tapi gue tahu, gimana pun caranya, nyokap pasti tahu gue baik-baik aja. Entah dengan mengontak sahabat-sahabat gue, atau melalui nalurinya, atau cara-cara lainnya. Selama dia tahu gue baik-baik aja, nggak ada alasan bagi gue buat bikin dia khawatir, dan itulah satu-satunya cara gue buat ngebalas semua yang udah dia lakuin buat gue dan kedua adik gue sampai sekarang. Koreksi, mungkin itu satu-satunya cara yang bisa gue lakuin sekarang. Sederhana dan mudah buat gue yang notabene sejak kecil memang secara psikologis jauh dari nyokap.

Meskipun demikian, gue tahu kok gimana nyokap selalu khawatir tentang diri gue. Dia nanya soal susu protein yang sering gue konsumsi akhir-akhir ini karena fitness, gimana efeknya, berapa harganya, dan sebagainya. Dia nanya gimana keadaan gue di Samarinda bulan lalu ketika gue dikirim ke sana sebagai volunteer Science Film Festival Indonesia 2011. Dia nanya sulit tidaknya mata kuliah gue setiap semester (yang jawabannya bisa sangat relatif). Sebaliknya, akhir-akhir ini, gue sering nanya ke dia soal ngilu di kaki kirinya yang pernah dioperasi, lancar tidaknya kerjaan dia di sana, hubungannya sama pacarnya, keadaan adik-adik gue, dan lain sebagainya. Walaupun jauh secara psikologis, setidaknya kami masih bisa menjalani hubungan layaknya ibu-anak yang normal, dan itulah yang gue butuhkan, tidak kurang, tidak lebih.

Harapan gue untuk tahun depan sebenarnya nggak muluk-muluk amat. Gue akan mencoba mendaftarkan diri di pre-audisi L-Men of the Year 2012. Semoga bisa lulus audisi dan jika memang takdir mengizinkan, gue kepingin gue menang. Gue berharap skripsi gue bisa selesai setidaknya dalam satu semester ke depan, dan magang gue berjalan lancar, sehingga gue bisa lulus dalam waktu normal (4 tahun) dan dapat kerjaan bagus, seperti yang diinginkan oleh nyokap. Easy to say, difficult to reach, but not impossible. Doain ya readers, semoga semuanya berjalan sesuai rencana. Mungkin segini dulu aja. Sekali lagi, Merry Christmas, guys, see you at 2012 :)

Senin, 05 Desember 2011

Nasib Fresh Graduate

Sebenarnya bukan kebiasaan gue untuk post dua kali dalam dua hari berturut-turut di bulan yang sama, tetapi sepertinya pikiran gue penuh dengan hal-hal yang menurut gue layak untuk di-post dan menjadi refleksi bagi siapapun yang membaca post ini.

Sabtu kemarin, saat kuliah Ekonomi Media, dosen gue sempat menceritakan suatu humor yang menurut gue sangat pantas untuk direfleksikan dan diterapkan di kehidupan nyata. Berikut humornya.

Seorang fresh graduate S1 dari sebuah universitas ternama sedang menjalani wawancara kerja. Setelah wawancara, tibalah si fresh graduate ini dalam sesi yang paling menegangkan dan menguji mental, yaitu masalah gaji.
Manager: Berapa gaji yang Anda inginkan jika Anda diterima untuk bekerja di perusahaan kami?
Fresh Graduate: Sebagai fresh graduate, saya ingin gaji lima juta rupiah per bulan.
Manager: Lima juta?
Fresh Graduate: Benar sekali. Anda bisa mengecek ulang portofolio dan CV saya, dan Anda tahu bahwa dengan semua kemampuan yang saya miliki, saya layak untuk mendapatkan gaji di atas rata-rata.
Manager: Lalu, bagaimana jika Anda lalai dan melakukan kesalahan dalam pekerjaan Anda?
Fresh Graduate: Jika saya melakukan kesalahan atau kinerja saya buruk, saya rela dipecat tiga bulan kemudian.

Seperti yang kita tahu, umumnya masa percobaan dalam suatu periode awal kerja adalah tiga bulan. Selama tiga bulan ini, seorang karyawan baru akan dimonitor kinerjanya sebagai pertimbangan apakah dia memang layak untuk dipertahankan dalam perusahaan. Humor ini cukup menghibur, tapi menurut gue, lebih banyak sisi amanatnya daripada sekadar menghibur.

Di Indonesia, masyarakatnya sudah memiliki stereotip tersendiri untuk para fresh graduate. Seorang fresh graduate dari universitas mana pun, umumnya akan pasrah ketika dikonfrontasi soal gaji. Mereka akan menerima saja walaupun mereka hanya diberi gaji satu juta sampai dua juta rupiah per bulan. Padahal, dalam kenyataannya, seorang fresh graduate sesungguhnya lebih layak untuk mendapatkan gaji yang lebih dari itu.

Ingat nggak, waktu kuliah, kita mati-matian mencari pengalaman dengan kegiatan organisasi sana-sini, berpartisipasi dalam berbagai event sambil membagi waktu untuk tugas-tugas kuliah beserta deadline-nya? Semua keahlian dan kemampuan yang kita dapatkan, serta pengalaman kita dalam berorganisasi, semuanya akan kita tulis di CV kita ketika kita melamar kerja. Di sinilah yang, menurut gue, poin krusial yang menunjukkan bahwa sebagai fresh graduate, kita layak untuk mendapatkan lebih daripada sekadar satu sampai dua juta rupiah per bulan.

Jika sudah bicara soal keahlian, tentunya keahlian seseorang tidak hanya terpaku pada jurusan kuliahnya terdahulu, kan? Pastilah ada kemampuan di luar keterampilan yang kita dapatkan dari sesi-sesi tatap muka selama kuliah. Kemampuan lebih inilah yang sepatutnya perlu dihargai lebih. Contohnya, lulusan Manajemen yang memiliki skill di bidang fotografi, lulusan TI dengan skill komunikasi yang baik, lulusan Akuntansi dengan skill medis, dan lain sebagainya.

Namun, sayangnya, nggak banyak perusahaan, terutama di Indonesia, yang menghargai kemampuan lebih ini. Padahal, kemampuan lebih inilah, yang mungkin membedakan kita secara garis besar dari fresh graduate lain yang bersaing untuk mendapatkan posisi yang sama. Dengan perbedaan yang cukup mencolok, bukankah sudah sepantasnya jika seorang fresh graduate dihargai lebih dari sekadar satu sampai dua juta rupiah per bulan?

Yang lebih miris lagi adalah, tidak banyak fresh graduate yang menyadari hal ini. Mereka pasrah begitu saja ketika harus menerima gaji sesuai dengan stereotip fresh graduate. Padahal, jika mereka yakin dengan kemampuan mereka, dan perusahaan melihat potensi itu, mereka akan dihargai lebih, sekaligus mematahkan stereotip omong kosong itu.

Mungkin gaji satu sampai dua juta per bulan masih cukup reasonable pada awalnya. Namun, harga barang kebutuhan pokok akan terus meningkat setiap tahun, belum lagi kemungkinan fresh graduate akan menikah tidak lama setelah dia lulus kuliah. Kalau nggak berani speak up, emangnya satu dua juta cukup buat anak istri? Mau terus hidup dalam kondisi overworked and underpaid? Inilah yang menurut gue membuat Indonesia tidak pernah maju, karena sumber daya manusianya sudah dirusak secara mental melalui stereotip-stereotip itu.

Sekadar perbandingan. Kalau kita berniat menciptakan BEP (Break Even Point a.k.a. balik modal) biaya sekolah dan kuliah kita, coba hitung kembali. Berapa milyar rupiah yang sudah kita habiskan untuk menempuh sekolah wajib (wajib, tapi kita masih bayar. Aneh? Kalau nggak ngeh, nanti gue bahas di bawah) ditambah dengan biaya kuliah. Kalau gaji satu dua juta per bulan, berapa lama kita bisa mengembalikan modal pendidikan kita? Bisa bertahun-tahun, itu pun belum menghitung inflasi yang terus terjadi. Dan secara nggak langsung, keadaan inilah yang membuat stereotip "fresh graduate gaji layak = 1-2 juta per bulan" ini semakin semarak dan mendarah daging.

Coba lihat kondisi negara lain. Nggak usah jauh-jauh, deh, negara tetangga kita aja, Malaysia. Tidak sedikit penduduk Malaysia yang menempuh pendidikan di Indonesia. Mereka juga memiliki program wajib sekolah. Bedanya, karena ini WAJIB oleh pemerintah, maka biaya sekolah mereka juga dibayarkan oleh pemerintah. Perbedaannya, tujuan penduduk Malaysia ini di Indonesia, kalau sudah dibilang WAJIB SEKOLAH, maka mereka nggak boleh melakukan hal lain selain menempuh pendidikan sampai selesai (ini dia yang menurut gue aneh, wajib belajar, tapi kita masih tetap bayar biaya pendidikan. Lucu ya?). Begitu sudah selesai, mereka pulang ke negaranya dan bekerja. Lowongan pekerjaan mereka juga sudah disediakan oleh pemerintah, dan pemerintah mengatur gaji mereka per bulannya. Gaji ini akan dipotong beberapa persennya untuk mengembalikan biaya pendidikan yang sudah dibayarkan pemerintah. Sisanya dipastikan cukup untuk fresh graduate itu untuk hidup selayaknya manusia pada umumnya (mungkin malah bisa lebih).

Itulah yang membedakan kualitas sumber daya manusia di Indonesia dan di negara lain. Memang, gue nggak yakin pemerintah akan bisa membiayai sekolah seluruh penduduk Indonesia sampai minimal mereka S1. Namun, dengan kualitas SDM yang menurut gue memprihatinkan ini, pendapatan per kapita negara kita juga kena imbasnya lho. Kalau negara mau maju, ya majukan dulu SDM-nya.

Sori kalau ada yang tersinggung atau nggak setuju dengan pendapat gue ini, tapi menurut gue, inilah yang harus diperhatikan oleh para fresh graduate nanti. Jangan mau diperlakukan seperti anak kecil. Kalau cuma bisa "iya iya" aja sama maunya perusahaan, buat apa kuliah tinggi-tinggi? Lulusan SD juga bisa kalau "iya iya" doang. Sadarlah, kemampuan kita sebagai seorang fresh graduate + keahlian ekstra yang mungkin kita miliki layak buat dihargai lebih. Ayo, guys, patahkan stereotip fresh graduate itu! Jangan mau jadi boneka! Give higher value to yourself! :)

Minggu, 04 Desember 2011

Perasaan

Hai, readers, long time no see. Maaf, ya, akhir-akhir ini gue jarang buka blog. Bukannya gak mau buka, tapi gue bingung gue mau nulis apa. Jadinya baru buka sekarang, deh. Benter, ya, gue bersih-bersih dulu, bersih-bersih blog gue yang udah berdebu ini *siapin kemoceng dan kain pel*

Oke. Setelah vakum hampir dua bulan, gue punya beberapa hal yang pingin gue share di sini. Pertama-tama, mengenai hidup gue. Sepertinya keputusan gue sangat tepat untuk meninggalkan MLM yang pernah gue jalanin itu, karena sekarang gue bisa saving uang jajan lumayan banyak karena gue nggak lagi rutin ikut pertemuan. Hasilnya bisa dibilang cukup memuaskan. Kalau gue mau, gue bisa beli satu PSP baru sekarang juga. Sayangnya, tentunya itu akan bikin tabungan gue ludes dalam sekejap. At least, sih, gue senang banget bisa nabung lagi, jadi setidaknya kalau ada apa-apa gue bisa pakai uang tabungan gue sendiri, nggak perlu buka hape dan ngetik SMS yang sangat tidak mengenakkan hati, "Ma, uangku habis, kirimin lagi dong, maaf ngerepotin". Nggak banget kayaknya.

Kemarin tanggal 16-30 November gue ikut jadi volunteer di Science Film Festival 2011 Indonesia. Gue sempat ke Samarinda dari tanggal 16-20. Kalau mau tahu lengkapnya gimana, ceritanya panjang deh. Nanti gue repost aja dari note yang udah gue tulis di grup volunteer SFF kemarin. Sabar, ya, readers. Setidaknya, kali ini gue merasa gue sudah berhasil melakukan sesuatu yang berguna banget dalam hidup gue, setidaknya dalam empat tahun terakhir ini. Gue berhasil menemukan sesuatu yang bikin gue excited dan sekaligus bikin orang di sekitar gue senang dengan apa yang gue kerjain.

Selanjutnya, ini topik yang paling penting yang mau gue share ke readers. Tanggal 26 November kemarin, UMN mengadakan wisuda perdana. Walaupun gue nggak bisa hadir di acaranya (yang boleh hadir hanya wisudawan dan para undangannya, gue nggak diundang), tapi gue bisa merasakan euforia, kebanggaan, kesedihan, dan emosi-emosi lain yang muncul dari foto-foto dokumenter acara wisuda itu di Facebook. Sampai sini, gue merasa ada sesuatu yang aneh dalam hidup gue empat tahun terakhir ini.

Perasaan ini bikin pikiran gue melayang kembali mengarungi waktu ke tahun 2008, tiga tahun yang lalu, ketika gue dan teman-teman gue saling berpelukan dan mengucapkan salam perpisahan. Berfoto bersama dengan mata sembab habis nangis bawang, peluk-pelukan untuk pertama kalinya dengan guru-guru favorit di masa-masa SMA, mengenang kembali kerusuhan-kerusuhan yang sempat kami lakukan sampai disetrap bersama, belajar bersama menjelang ujian, dan lain sebagainya. Memori-memori yang akan selalu terukir dalam ingatan gue sampai gue tua nanti. Betapa indahnya saat-saat itu.

Ya, itu hanya sekadar kilasan gimana perpisahan gue dan teman-teman sekelas gue (yang semuanya IPA, karena IPA hanya satu kelas waktu gue SMA dulu). Namun, memori-memori itu bikin gue mikir agak lama. Tahun depan, jika semuanya berjalan lancar, gue akan diwisuda juga. Setelah melihat-lihat foto-foto wisuda perdana di Facebook dan komentar-komentar tentang foto itu, gue merasa ada yang lain.

Angkatan 2007, angkatan UMN yang berada di atas gue sekaligus angkatan pertama. Mereka tidak mengenal batas program studi. Semuanya saling bertukar pikiran dengan sangat akrab layaknya saudara. Jumlah mereka hanya sekitar 100 orang, jumlah yang kecil untuk satu angkatan UMN yang sekarang sudah mencapai 10 kali lipatnya. Namun, walaupun minoritas, mereka tetap kompak, tidak memandang apakah satu dari mereka berasal dari jurusan yang berbeda, atau prodi yang berbeda, semuanya saling mendukung dan saling memercayai.

Walaupun gue angkatan kedua, gue tidak menemukan setitikpun kenangan yang mirip seperti itu selama gue kuliah. Gue adalah lone wolf di angkatan gue, tipe orang yang sering melakukan segala sesuatunya sendirian, tipe yang sering dicap kuper di kalangan anak muda saat ini. Teman-teman gue yang lain sering membentuk geng sendiri dengan teman-teman dekat mereka, dan membuat kotak-kotak sendiri yang membatasi pergaulan mereka dengan orang lain di sekitar mereka. Ini bukanlah situasi yang gue sukai. Karena itulah, gue memilih untuk lebih banyak menyendiri selama kuliah.

Gue punya teman, banyak. Semua yang gue kenal adalah teman gue. Pertanyaannya, apakah mereka sahabat gue? Jawabannya tidak. Awalnya, karena masih terbawa dengan suasana SMA, gue membiarkan kotak pergaulan gue terbuka lebar dan membiarkan segala jenis pergaulan masuk di kehidupan gue, membiarkan gue mengenal lebih jauh tentang teman-teman baru gue. Namun, sepertinya taktik ini tidak berhasil. Teman-teman baru gue, masing-masing juga membawa kotak kehidupan mereka yang lama, dan hanya mengizinkan segelintir orang untuk masuk ke kotak mereka, lalu membentuk kotak kehidupan baru bersama teman-teman yang mereka anggap layak untuk menjadi bagian dari hidup mereka. Ini mengakibatkan angkatan gue begitu tersekat, tidak pernah benar-benar berbaur satu sama lain. Kalau gue ditanya, kenapa gue nggak mau masuk ke salah satu kotak yang tersedia di depan gue, jawabannya sederhana, gue nggak bisa menerima mereka dalam kotak gue. Memasukkan diri gue ke dalam salah satu kotak, artinya secara tidak langsung gue harus berbagi kotak gue juga untuk dia, dan sayangnya menurut gue, yang benar-benar bisa masuk di kotak kehidupan gue tidak sampai 5% dari angkatan gue.

Gue punya sahabat, tetapi bukan sahabat yang selalu ada bersama gue ke mana pun gue pergi. Bukan sahabat yang seperti itu. Seperti yang gue bilang, hanya sedikit orang yang bisa masuk ke kotak gue, dan bersama orang-orang itulah, gue bisa bergaul dengan lebih terbuka, karena gue dan sedikit orang itu saling tahu bagaimana hidup dan kepribadian masing-masing.

Gue jadi mikir. Dengan keadaan tersekat seperti yang ada sekarang, gue sangat ragu gue bisa merasakan kembali perasaan-perasaan yang ada saat gue lulus SMA tiga tahun yang lalu. Sungguh, sampai sekarang aja gue nggak merasakan setitikpun kekompakan, baik dalam jurusan gue sendiri. Gue nggak men-judge begitu aja, sih. Kenyataannya memang begitu. Kami tidak lagi punya rahasia bersama, karena memang tidak pernah ada rahasia yang diceritakan di antara gue dan teman-teman baru gue. Semuanya sibuk dengan hidup mereka masing-masing, termasuk gue.

Terus, kenapa gue nggak mencoba terus bergaul? Kalau gue harus bergaul, gue lebih memilih bergaul dengan komunitas yang baru sama sekali daripada stay dan mencoba membuka sekat-sekat di angkatan gue. Sekat-sekat yang mereka bentuk udah tersemen dengan begitu keras, sulit untuk diruntuhkan. Karena itu, gue nggak mau buang-buang waktu buat meruntuhkan dinding-dinding itu, capek. Mending mencari kotak lain yang masih mungkin menerima gue dan memungkinkan gue untuk membuat kotak yang lebih besar untuk komunitas itu. Sederhana bukan?

Mungkin readers boleh bilang gue kuper, gue nggak gaul, gue freak, whatever. Yang pasti, gue sama sekali nggak tertarik buat berusaha meruntuhkan tembok-tembok semen itu. Buat sekat pribadi gue, gue bisa menyingkirkannya dengan mudah dan menutupnya lagi seperti membuka pintu kamar. Namun, ya begitulah, gue yakin gue nggak bisa lagi ngerasain perasaan yang sama dengan yang gue rasain saat gue mengucapkan salam perpisahan dulu. World changes, time changes, and people also change. Mungkin, gue juga akan berubah, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Gue masih ingin merasakan sekali lagi perasaan-perasaan itu, dan gue harap, gue bisa merasakannya di saat-saat gue wisuda nanti.