Sebenarnya bukan kebiasaan gue untuk post dua kali dalam dua hari berturut-turut di bulan yang sama, tetapi sepertinya pikiran gue penuh dengan hal-hal yang menurut gue layak untuk di-post dan menjadi refleksi bagi siapapun yang membaca post ini.
Sabtu kemarin, saat kuliah Ekonomi Media, dosen gue sempat menceritakan suatu humor yang menurut gue sangat pantas untuk direfleksikan dan diterapkan di kehidupan nyata. Berikut humornya.
Seorang fresh graduate S1 dari sebuah universitas ternama sedang menjalani wawancara kerja. Setelah wawancara, tibalah si fresh graduate ini dalam sesi yang paling menegangkan dan menguji mental, yaitu masalah gaji.
Manager: Berapa gaji yang Anda inginkan jika Anda diterima untuk bekerja di perusahaan kami?
Fresh Graduate: Sebagai fresh graduate, saya ingin gaji lima juta rupiah per bulan.
Manager: Lima juta?
Fresh Graduate: Benar sekali. Anda bisa mengecek ulang portofolio dan CV saya, dan Anda tahu bahwa dengan semua kemampuan yang saya miliki, saya layak untuk mendapatkan gaji di atas rata-rata.
Manager: Lalu, bagaimana jika Anda lalai dan melakukan kesalahan dalam pekerjaan Anda?
Fresh Graduate: Jika saya melakukan kesalahan atau kinerja saya buruk, saya rela dipecat tiga bulan kemudian.
Seperti yang kita tahu, umumnya masa percobaan dalam suatu periode awal kerja adalah tiga bulan. Selama tiga bulan ini, seorang karyawan baru akan dimonitor kinerjanya sebagai pertimbangan apakah dia memang layak untuk dipertahankan dalam perusahaan. Humor ini cukup menghibur, tapi menurut gue, lebih banyak sisi amanatnya daripada sekadar menghibur.
Di Indonesia, masyarakatnya sudah memiliki stereotip tersendiri untuk para fresh graduate. Seorang fresh graduate dari universitas mana pun, umumnya akan pasrah ketika dikonfrontasi soal gaji. Mereka akan menerima saja walaupun mereka hanya diberi gaji satu juta sampai dua juta rupiah per bulan. Padahal, dalam kenyataannya, seorang fresh graduate sesungguhnya lebih layak untuk mendapatkan gaji yang lebih dari itu.
Ingat nggak, waktu kuliah, kita mati-matian mencari pengalaman dengan kegiatan organisasi sana-sini, berpartisipasi dalam berbagai event sambil membagi waktu untuk tugas-tugas kuliah beserta deadline-nya? Semua keahlian dan kemampuan yang kita dapatkan, serta pengalaman kita dalam berorganisasi, semuanya akan kita tulis di CV kita ketika kita melamar kerja. Di sinilah yang, menurut gue, poin krusial yang menunjukkan bahwa sebagai fresh graduate, kita layak untuk mendapatkan lebih daripada sekadar satu sampai dua juta rupiah per bulan.
Jika sudah bicara soal keahlian, tentunya keahlian seseorang tidak hanya terpaku pada jurusan kuliahnya terdahulu, kan? Pastilah ada kemampuan di luar keterampilan yang kita dapatkan dari sesi-sesi tatap muka selama kuliah. Kemampuan lebih inilah yang sepatutnya perlu dihargai lebih. Contohnya, lulusan Manajemen yang memiliki skill di bidang fotografi, lulusan TI dengan skill komunikasi yang baik, lulusan Akuntansi dengan skill medis, dan lain sebagainya.
Namun, sayangnya, nggak banyak perusahaan, terutama di Indonesia, yang menghargai kemampuan lebih ini. Padahal, kemampuan lebih inilah, yang mungkin membedakan kita secara garis besar dari fresh graduate lain yang bersaing untuk mendapatkan posisi yang sama. Dengan perbedaan yang cukup mencolok, bukankah sudah sepantasnya jika seorang fresh graduate dihargai lebih dari sekadar satu sampai dua juta rupiah per bulan?
Yang lebih miris lagi adalah, tidak banyak fresh graduate yang menyadari hal ini. Mereka pasrah begitu saja ketika harus menerima gaji sesuai dengan stereotip fresh graduate. Padahal, jika mereka yakin dengan kemampuan mereka, dan perusahaan melihat potensi itu, mereka akan dihargai lebih, sekaligus mematahkan stereotip omong kosong itu.
Mungkin gaji satu sampai dua juta per bulan masih cukup reasonable pada awalnya. Namun, harga barang kebutuhan pokok akan terus meningkat setiap tahun, belum lagi kemungkinan fresh graduate akan menikah tidak lama setelah dia lulus kuliah. Kalau nggak berani speak up, emangnya satu dua juta cukup buat anak istri? Mau terus hidup dalam kondisi overworked and underpaid? Inilah yang menurut gue membuat Indonesia tidak pernah maju, karena sumber daya manusianya sudah dirusak secara mental melalui stereotip-stereotip itu.
Sekadar perbandingan. Kalau kita berniat menciptakan BEP (Break Even Point a.k.a. balik modal) biaya sekolah dan kuliah kita, coba hitung kembali. Berapa milyar rupiah yang sudah kita habiskan untuk menempuh sekolah wajib (wajib, tapi kita masih bayar. Aneh? Kalau nggak ngeh, nanti gue bahas di bawah) ditambah dengan biaya kuliah. Kalau gaji satu dua juta per bulan, berapa lama kita bisa mengembalikan modal pendidikan kita? Bisa bertahun-tahun, itu pun belum menghitung inflasi yang terus terjadi. Dan secara nggak langsung, keadaan inilah yang membuat stereotip "fresh graduate gaji layak = 1-2 juta per bulan" ini semakin semarak dan mendarah daging.
Coba lihat kondisi negara lain. Nggak usah jauh-jauh, deh, negara tetangga kita aja, Malaysia. Tidak sedikit penduduk Malaysia yang menempuh pendidikan di Indonesia. Mereka juga memiliki program wajib sekolah. Bedanya, karena ini WAJIB oleh pemerintah, maka biaya sekolah mereka juga dibayarkan oleh pemerintah. Perbedaannya, tujuan penduduk Malaysia ini di Indonesia, kalau sudah dibilang WAJIB SEKOLAH, maka mereka nggak boleh melakukan hal lain selain menempuh pendidikan sampai selesai (ini dia yang menurut gue aneh, wajib belajar, tapi kita masih tetap bayar biaya pendidikan. Lucu ya?). Begitu sudah selesai, mereka pulang ke negaranya dan bekerja. Lowongan pekerjaan mereka juga sudah disediakan oleh pemerintah, dan pemerintah mengatur gaji mereka per bulannya. Gaji ini akan dipotong beberapa persennya untuk mengembalikan biaya pendidikan yang sudah dibayarkan pemerintah. Sisanya dipastikan cukup untuk fresh graduate itu untuk hidup selayaknya manusia pada umumnya (mungkin malah bisa lebih).
Itulah yang membedakan kualitas sumber daya manusia di Indonesia dan di negara lain. Memang, gue nggak yakin pemerintah akan bisa membiayai sekolah seluruh penduduk Indonesia sampai minimal mereka S1. Namun, dengan kualitas SDM yang menurut gue memprihatinkan ini, pendapatan per kapita negara kita juga kena imbasnya lho. Kalau negara mau maju, ya majukan dulu SDM-nya.
Sori kalau ada yang tersinggung atau nggak setuju dengan pendapat gue ini, tapi menurut gue, inilah yang harus diperhatikan oleh para fresh graduate nanti. Jangan mau diperlakukan seperti anak kecil. Kalau cuma bisa "iya iya" aja sama maunya perusahaan, buat apa kuliah tinggi-tinggi? Lulusan SD juga bisa kalau "iya iya" doang. Sadarlah, kemampuan kita sebagai seorang fresh graduate + keahlian ekstra yang mungkin kita miliki layak buat dihargai lebih. Ayo, guys, patahkan stereotip fresh graduate itu! Jangan mau jadi boneka! Give higher value to yourself! :)
Senin, 05 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Menjadi seorang fresh graduate yang awam masalah gaji, adalah masalah ketika wawancara kerja. Temukan gaji besar fresh graduate di Laruno.com Portal Bisnis dan Karir Indonesia
Posting Komentar