Hai, readers, long time no see. Maaf, ya, akhir-akhir ini gue jarang buka blog. Bukannya gak mau buka, tapi gue bingung gue mau nulis apa. Jadinya baru buka sekarang, deh. Benter, ya, gue bersih-bersih dulu, bersih-bersih blog gue yang udah berdebu ini *siapin kemoceng dan kain pel*
Oke. Setelah vakum hampir dua bulan, gue punya beberapa hal yang pingin gue share di sini. Pertama-tama, mengenai hidup gue. Sepertinya keputusan gue sangat tepat untuk meninggalkan MLM yang pernah gue jalanin itu, karena sekarang gue bisa saving uang jajan lumayan banyak karena gue nggak lagi rutin ikut pertemuan. Hasilnya bisa dibilang cukup memuaskan. Kalau gue mau, gue bisa beli satu PSP baru sekarang juga. Sayangnya, tentunya itu akan bikin tabungan gue ludes dalam sekejap. At least, sih, gue senang banget bisa nabung lagi, jadi setidaknya kalau ada apa-apa gue bisa pakai uang tabungan gue sendiri, nggak perlu buka hape dan ngetik SMS yang sangat tidak mengenakkan hati, "Ma, uangku habis, kirimin lagi dong, maaf ngerepotin". Nggak banget kayaknya.
Kemarin tanggal 16-30 November gue ikut jadi volunteer di Science Film Festival 2011 Indonesia. Gue sempat ke Samarinda dari tanggal 16-20. Kalau mau tahu lengkapnya gimana, ceritanya panjang deh. Nanti gue repost aja dari note yang udah gue tulis di grup volunteer SFF kemarin. Sabar, ya, readers. Setidaknya, kali ini gue merasa gue sudah berhasil melakukan sesuatu yang berguna banget dalam hidup gue, setidaknya dalam empat tahun terakhir ini. Gue berhasil menemukan sesuatu yang bikin gue excited dan sekaligus bikin orang di sekitar gue senang dengan apa yang gue kerjain.
Selanjutnya, ini topik yang paling penting yang mau gue share ke readers. Tanggal 26 November kemarin, UMN mengadakan wisuda perdana. Walaupun gue nggak bisa hadir di acaranya (yang boleh hadir hanya wisudawan dan para undangannya, gue nggak diundang), tapi gue bisa merasakan euforia, kebanggaan, kesedihan, dan emosi-emosi lain yang muncul dari foto-foto dokumenter acara wisuda itu di Facebook. Sampai sini, gue merasa ada sesuatu yang aneh dalam hidup gue empat tahun terakhir ini.
Perasaan ini bikin pikiran gue melayang kembali mengarungi waktu ke tahun 2008, tiga tahun yang lalu, ketika gue dan teman-teman gue saling berpelukan dan mengucapkan salam perpisahan. Berfoto bersama dengan mata sembab habis nangis bawang, peluk-pelukan untuk pertama kalinya dengan guru-guru favorit di masa-masa SMA, mengenang kembali kerusuhan-kerusuhan yang sempat kami lakukan sampai disetrap bersama, belajar bersama menjelang ujian, dan lain sebagainya. Memori-memori yang akan selalu terukir dalam ingatan gue sampai gue tua nanti. Betapa indahnya saat-saat itu.
Ya, itu hanya sekadar kilasan gimana perpisahan gue dan teman-teman sekelas gue (yang semuanya IPA, karena IPA hanya satu kelas waktu gue SMA dulu). Namun, memori-memori itu bikin gue mikir agak lama. Tahun depan, jika semuanya berjalan lancar, gue akan diwisuda juga. Setelah melihat-lihat foto-foto wisuda perdana di Facebook dan komentar-komentar tentang foto itu, gue merasa ada yang lain.
Angkatan 2007, angkatan UMN yang berada di atas gue sekaligus angkatan pertama. Mereka tidak mengenal batas program studi. Semuanya saling bertukar pikiran dengan sangat akrab layaknya saudara. Jumlah mereka hanya sekitar 100 orang, jumlah yang kecil untuk satu angkatan UMN yang sekarang sudah mencapai 10 kali lipatnya. Namun, walaupun minoritas, mereka tetap kompak, tidak memandang apakah satu dari mereka berasal dari jurusan yang berbeda, atau prodi yang berbeda, semuanya saling mendukung dan saling memercayai.
Walaupun gue angkatan kedua, gue tidak menemukan setitikpun kenangan yang mirip seperti itu selama gue kuliah. Gue adalah lone wolf di angkatan gue, tipe orang yang sering melakukan segala sesuatunya sendirian, tipe yang sering dicap kuper di kalangan anak muda saat ini. Teman-teman gue yang lain sering membentuk geng sendiri dengan teman-teman dekat mereka, dan membuat kotak-kotak sendiri yang membatasi pergaulan mereka dengan orang lain di sekitar mereka. Ini bukanlah situasi yang gue sukai. Karena itulah, gue memilih untuk lebih banyak menyendiri selama kuliah.
Gue punya teman, banyak. Semua yang gue kenal adalah teman gue. Pertanyaannya, apakah mereka sahabat gue? Jawabannya tidak. Awalnya, karena masih terbawa dengan suasana SMA, gue membiarkan kotak pergaulan gue terbuka lebar dan membiarkan segala jenis pergaulan masuk di kehidupan gue, membiarkan gue mengenal lebih jauh tentang teman-teman baru gue. Namun, sepertinya taktik ini tidak berhasil. Teman-teman baru gue, masing-masing juga membawa kotak kehidupan mereka yang lama, dan hanya mengizinkan segelintir orang untuk masuk ke kotak mereka, lalu membentuk kotak kehidupan baru bersama teman-teman yang mereka anggap layak untuk menjadi bagian dari hidup mereka. Ini mengakibatkan angkatan gue begitu tersekat, tidak pernah benar-benar berbaur satu sama lain. Kalau gue ditanya, kenapa gue nggak mau masuk ke salah satu kotak yang tersedia di depan gue, jawabannya sederhana, gue nggak bisa menerima mereka dalam kotak gue. Memasukkan diri gue ke dalam salah satu kotak, artinya secara tidak langsung gue harus berbagi kotak gue juga untuk dia, dan sayangnya menurut gue, yang benar-benar bisa masuk di kotak kehidupan gue tidak sampai 5% dari angkatan gue.
Gue punya sahabat, tetapi bukan sahabat yang selalu ada bersama gue ke mana pun gue pergi. Bukan sahabat yang seperti itu. Seperti yang gue bilang, hanya sedikit orang yang bisa masuk ke kotak gue, dan bersama orang-orang itulah, gue bisa bergaul dengan lebih terbuka, karena gue dan sedikit orang itu saling tahu bagaimana hidup dan kepribadian masing-masing.
Gue jadi mikir. Dengan keadaan tersekat seperti yang ada sekarang, gue sangat ragu gue bisa merasakan kembali perasaan-perasaan yang ada saat gue lulus SMA tiga tahun yang lalu. Sungguh, sampai sekarang aja gue nggak merasakan setitikpun kekompakan, baik dalam jurusan gue sendiri. Gue nggak men-judge begitu aja, sih. Kenyataannya memang begitu. Kami tidak lagi punya rahasia bersama, karena memang tidak pernah ada rahasia yang diceritakan di antara gue dan teman-teman baru gue. Semuanya sibuk dengan hidup mereka masing-masing, termasuk gue.
Terus, kenapa gue nggak mencoba terus bergaul? Kalau gue harus bergaul, gue lebih memilih bergaul dengan komunitas yang baru sama sekali daripada stay dan mencoba membuka sekat-sekat di angkatan gue. Sekat-sekat yang mereka bentuk udah tersemen dengan begitu keras, sulit untuk diruntuhkan. Karena itu, gue nggak mau buang-buang waktu buat meruntuhkan dinding-dinding itu, capek. Mending mencari kotak lain yang masih mungkin menerima gue dan memungkinkan gue untuk membuat kotak yang lebih besar untuk komunitas itu. Sederhana bukan?
Mungkin readers boleh bilang gue kuper, gue nggak gaul, gue freak, whatever. Yang pasti, gue sama sekali nggak tertarik buat berusaha meruntuhkan tembok-tembok semen itu. Buat sekat pribadi gue, gue bisa menyingkirkannya dengan mudah dan menutupnya lagi seperti membuka pintu kamar. Namun, ya begitulah, gue yakin gue nggak bisa lagi ngerasain perasaan yang sama dengan yang gue rasain saat gue mengucapkan salam perpisahan dulu. World changes, time changes, and people also change. Mungkin, gue juga akan berubah, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Gue masih ingin merasakan sekali lagi perasaan-perasaan itu, dan gue harap, gue bisa merasakannya di saat-saat gue wisuda nanti.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar