Pages

Minggu, 15 April 2012

Topeng

Semua orang pasti pernah menggunakan topeng. Dalam keadaan apapun, ada kalanya kita tidak mau orang lain tahu apa yang sebenarnya kita pikirkan dan kita rasakan. Namun, apa yang akan kau lakukan jika kau bertemu dengan orang yang tidak pernah memiliki topeng?

Sebut saja namanya Winda (Nama samaran). Kukenal dia dari grup alumni SMA-ku di Facebook. Awalnya, kami hanya saling bertukar salam dan saling curhat. Aku curhat tentang rencana karirku, dan dia tentang hubungan cintanya yang kandas.

Kami pun saling bertukar alamat surel dan nomor ponsel. Aku tidak pernah menghubunginya via ponsel, hanya melalui surel atas permintaannya. Dia kesulitan mengakses Facebook untuk mengecek isi inbox-nya, sehingga kupindahkan isi pesanku ke surel atas permintaannya. Akhirnya, dia pun mengirimkan pesan singkat ke ponselku. Masalahku bisa dibilang sudah selesai, sehingga gilirannya untuk curhat.

Hubungan cinta Winda tidak seperti yang dimiliki kebanyakan wanita yang kukenal. Dia berusia 11 tahun di atasku. Pacarnya harus menikah dengan wanita lain, karena wanita lain telah mengandung benihnya. Winda marah, karena dia sendiri telah menyerahkan tubuhnya sampai empat kali selama masa pacaran mereka, dan pacarnya tidak memilihnya. Dia kesal, mengapa tidak dia saja yang mengandung benihnya sehingga mereka bisa menikah.

Aku hanya berkata, "He's going to be a family man. Lebih baik kau tidak mengganggunya. Mungkin dia mengatakan dia masih mencintaimu. Namun, apapun alasannya, jangan sampai kau menjadi pihak ketiga yang menghancurkan rumah tangganya. Kau bisa menjadi sahabatnya, but not his girlfriend anymore." Namun, hati yang sudah begitu remuk mengebalkannya dari segala nasihat.

Dua hari penuh dia mencurahkan isi hatinya melalui pesan singkat, dia menjadikanku seolah pengganti pacarnya. Pesan singkatnya berisi segala rayuan dan kalimat-kalimat seksual yang membuatku panas dingin. Dia bahkan mengajakku untuk bermain dengan tubuhnya. Aku sempat jengah dan menegurnya keras karena hal itu. Dia tidak terima, dan dia mencercaku dengan nasihat-nasihat kasar via surel dan pesan singkat yang membuatku ingin membanting ponselku.

Malam itu, aku mengikuti misa malam Paskah. Selama misa, pikiranku tidak bisa lepas dari dia. Memang, akulah yang menawarkan diri untuk menjadi "tong sampah" baginya. Namun, pantaskah aku marah hanya karena dia sedang menjadikanku pelampiasan depresinya? Bukankah aku yang ingin menjadi papan sasaran panahnya selama ini?

Setelah itu aku minta maaf padanya, mencoba untuk memberikannya kesempatan kedua, sehingga dia bisa membuatku kembali respek padanya. Namun, dua hari setelah itu, dia tetap tidak berubah. Yang ada, aku hanya berusaha mempertahankan topengku, berusaha membuatnya mengerti bahwa walaupun aku sudah dewasa, kehidupan seksual bukanlah topik yang tepat untuk mempertahankan sebuah pertemanan, dan cinta lebih dari sekadar permainan seks.

Kali ini, aku tidak kesal. Aku hanya membalas pesan-pesan singkatnya dengan tiga halaman pesan singkat yang menurutku bisa membuatnya sadar. Tidak ada gunanya. Dia menghabiskan sebagian waktu tidurku untuk mencaciku. Kumatikan ponselku supaya tidak mengganggu adik-adikku yang sudah pulas. Kulirik jam di ponselku. Pukul satu pagi. Tidak heran mataku terasa begitu berat.

Paginya, kunyalakan lagi ponselku dan mendapati empat pesan baru lagi. Semuanya berisi makian darinya. Dia mengataiku munafik, terus menerus menggunakan topeng untuk menutupi perasaanku yang sebenarnya. Dia memakiku karena tidak pernah mengatakan bahwa aku benci padanya. Dia mencaciku karena aku membatalkan janji temu kami. Pada akhirnya, kami memang tidak pernah bertemu muka.

Pesan-pesan singkatnya masih terus berlanjut hingga siang hari ketika aku sudah di bandara, menunggu pesawat untuk kembali ke Jakarta. Aku hanya menghapus satu per satu pesan singkatnya agar tidak memenuhi inbox-ku, tanpa membalasnya. Semuanya berisi makian yang tidak enak dilihat. Setiap kali aku membacanya, aku hanya tersenyum dalam hati.

Beberapa hari setelah aku menginjak Jakarta, dia mengirimkan pesan singkat lagi. Isinya bukan makian. Dia minta maaf atas semua makiannya sejak beberapa hari yang lalu. Dia bilang semua analisis dan saran-saranku untuk membantunya bertahan tanpa pacarnya ternyata benar dan sangat berguna. Setelah putus, dia perlahan-lahan mulai lepas dan melupakan bayang pacarnya. Dia bahkan mengirimkan pesan singkat melalui private number-nya.

Namun, aku tidak pernah lagi merespon. Aku membiarkan dan menghapus semua tentang dirinya dari ponsel dan jejaring sosialku. Dia meng-unfriend-ku di Facebook, dan aku memblokirnya. Kuhapus nomor ponselnya dari daftar kontak ponselku. Sadar bahwa aku tidak pernah lagi menggubrisnya, dia mengirimkan surel lagi. Isinya: "Wen, aku bingung, what should I do, so that we can be friends again? Please, I need you."

Sekali lagi, aku hanya tersenyum dan berkata dalam hati: Kau yang memulai, kau yang mengakhiri. Kau yang merajut tali pertemanan ini, kau pula yang memotongnya. Dan sekarang kau bertanya apa yang harus kau lakukan agar kita bisa berteman kembali? Kaulah yang tahu jawabannya, bukan aku, karena kau yang memegang tali dan pisaunya selama ini.

Aku tidak membencinya. Aku tetap menganggapnya teman. Meskipun dia telah membuatku kesal, dan sampai sekarang pun aku masih enggan untuk mengontaknya, tetapi aku sengaja. Aku ingin dia bertambah dewasa. Hidup bukan hanya untuk cinta, bukan hanya untuk nafsu, dan bukan hanya untuk seks. Dia terlalu terbuka untukku, dan dia tidak berhasil memaksaku untuk membuka topengku. Secara fisik, dia lebih dewasa, tetapi tidak dengan mentalnya. Bagaimana pun keadaannya, dia harus menerima kenyataan, bahwa selama ini pernyataan-pernyataanku kepadanya selalu benar, tulus, dan tidak ditutup-tutupi.

Ketika aku menyelesaikan paragraf terakhir ini, aku masih berpikir: Seandainya aku membuka topengku, apakah hubungan kami akan membaik? Kurasa tidak, karena tidak pernah ada yang mau menerima nasihat yang disampaikan dengan penuh amarah. Untuk kali ini, kurasa dia harus mulai belajar untuk mengenakan topeng.

Serpong, 15 April 2012, 20.42 WIB

0 komentar:

Posting Komentar